Rabu, 27 Juli 2011

8. Raihan, Malam Ini Tidak Ada Bintang

Kukatakan pada Makku. "Aku ingin berjumpa dan berbicara dengannya sehari penuh. Karena besok adalah hari kematianku"

Tidak ada yang akan mati lebih bahagia dariku. Karena segala hasrat seumur hidupku telah kupenuhi sehari menjelang kematian. Mungkin para syuhada dan pezina yang mati dirajam dengan senyum karena segala dosanya telah dihapuskan bersama butiran-butiran batu yang menghantam tengkoraknya adalah orang-orang yang berbahagia bersamaku.

Aku duduk mengobrol dengannya. Menanyakan segala perjalanan hidupnya sejak terakhir kami berjumpa. Aku mengenang masa indah saat di meunasah desa Paya Cut. Tidak ada yang memotifasiku untuk berjalan kaki sejauh dua kolometer di malam buta untuk shalat tarawih kecuali harapan dia akan datang. Aku tak parnah libur ke meunasah selama 30 malam meski kutahu sepanjang Ramadhan dia hanya datang 4 sampai 6 kali. Karena aku tak tahu malam apa saja dia akan datang, kiputuskan aku tidak boleh absen. Semua demi kamu, Raihan.

Menanti dengan harap dan cemas seperti kualami di setiap malam-malam Ramadhan rupanya dialami juga semua muslim di seluruh dunia. Bedanya, mereka menanti kedangtanga  Lailatul Qadar, aku menunggu tibanya kekasihku.

Raihan, malam ini tidak ada bintang. Kulit otakku penuh wajahmu. Malam ini begitu dingin. Tidak ada satupun bunyi kendaraan. Tahukah kamu aku mendengar suara burung-burung.

Gedung-gedung di sini senyap seolah menunggu sesuatu. Aku tak tau apa itu. Tapi pepohonan di depan rumahmu kelihatan lebih ramah. Mereka menari-nari dengan perlahan mengikuti hembusan angin.

Raihan rumahmu adalah taman surga. Biarkan saja semuanya menuju Firdaus. Aku ingin tetap di sini, di taman halaman rumahmu. Menunggumu keluar dengan baju pengantin bewarna putih. Kunanti wajahmu hadir kembali di hadapanku.

Raihan, mataku rindu menatapmu kembali. Raihan aku sepi sendiri di sini. Aku tidak sanggup. Tidak sanggup saat membayang kan engkau sedang lelap bersama anak-anak dan suamimu di sebuah rumah bahagia.

Aku di sini seperti cacing yang yang dilumuri abu dapur. Setiap malam aku keluar menantang ganasnya udara malam yang menikam hingga sela-sela rusuk.  Aku mencari wajahmu di atas langin yang kelihatan hampa. Bila ke laut aku menungu-nunggu bila-bila wajahmu timbul dari dasar samudera.

Raihan, aku sengsara. Pada siapa aku mengadu kalau bukan pada namamu yang telah menyatu bersama segala ingatanku. Namamu telah menguasai seluruh memori pikiranku.

Mentra 58, 28 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar