Bukan karena indahnya gunung di waktu petang yang puncaknya mengagumkan karena diselimuti manja awan-awan tipis. Awan-awan seolah-olah enggan, seakan-akan ingin: merangkul puncak gunung yang terlihat olehku melalui kaca jendela mobil yang sedang melaju kencang, namun terasa terbang manja bagaikan layangan yang enggan menerima hembusan agin padahal dia membutuhkannya sebagai penyangga agar tetap melayang, agar tetap terlihat elok. Mobil kurasa terbang manja meski beberapa penumpangnya memegang dada karena supirnya menginjak pedal gas seakan tak waras, sedang bersiul-siul pula mengikuti alunan irama yang diputarnya melalui mp tiga.
Ya Allah, kau kirimkan sakit gigi yang begitu nyeri selama tiga puluh hari tanpa henti hamba dapat amini. Tapi meninggalkan kenangan pulang dari Pidie menumpang angkutan bus mini bewarna merah, hamba tak mampu. Allah, hamba tak kuasa. Hati hamba lemah, lemah karena kau kuatkan selalu ingatan hamba saat ketika jantung hamba seakan melompat ke lantai tempat taruh kaki, badan hamba seketika menggigil semua. Rasanya semua molekol yang menyusun tubuh hamba meleleh bagaikan gunung garam yang disapu gelombang.
Saat mobil hendak berangkat, aku menawarkannya buku Kahlil Gibran. Bagiku buku itu indah sekali, benar-benar menyentuh rasa. Bahkan telah lusuh karena telah berulangkali kukhatami. Dia mengambil buku itu, mencoba membaca beberapa paragraphnya. Lalu dikembalikannya padaku. "Tidak memahami, saya" katanya.
Aku tidak pernah tertarik untuk menafsirkan ucapannya. Akalku lumpuh dan hanya kalimat ucapannya kuangkat di atas kepala, kuisi di atas nampan, kubungkus kain sutera, kutaruh di atas kepala, kubawa ke mana-mana hingga nanti aku mati.
Baru hampir sepuluh tahun kemudian aku dapat mencerna makna kalimat ucapannya. Memang puisi sulit dipahami banyak orang kecuali yang sedang mabuk kepayang dilanda asmara dipanah cinta. Memahami maknanya malah hanya menambah luka, memperparah keadaanku.
Terus-terang sangat ingin aku mengetahui kabar tentang dirimu, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu sudah menjadi guru Bahasa Inggris? Mengajar di mana? Apa kabar suamimu? Apakah dia sudah naik pangkat? Bagaimana-anak-anakmu? Ah, menyebut yang terakhir aku jadi malu pada masyarakat. Untuk apa mengurus anak orang.
Tahukah kamu hingga hari ini dan bahkan besok cintaku padamu takkan mungkin sedikitpun berkurang. Tahukah kamu hari-hariku melihatmu adalah kenyataan terindah dalam hidupku. Tahukah kamu memandang atap rumahmu dari atas bukit yang kulintasi untuk pergi memancing ikan di sungai Peusangan kenikmatannya takkan dapat digantikan dengan seribu milyar bintang-bintang.
Mencintaimu sampai besar anak-cucumu nanti memang terlihat tidak relistis. Namun bukankah sejak big-bang semuanya tak ada yang real.
Aku berhayal ketika kamu tua nanti, suamimu telah mati, anak-anakmu telah pada pulang ke rumah mertuanya, aku, di kamar depan rumahmu yang setiap lebaran selalu kukunjungi saat kita lajang dulu, memelukmu setiap saat. Duhai Tuhan. Inilah jalan paling indah nagi hamba menanti detik-derik kematuan. Menyandarkan kepala pada bahu yang kepalanya jatuh ke bahuku saat aku menatap puncak gunung yang diselimuti awan tipis bewarna putih.
Saat kepalanya jatuh kebahuku aku bergetar dan menggigil, kukira karena awan yang menyapa ujung bukit, kukira karena jernih air sungai Batee Iliek yang berkelok-kelok alirannya karena menabrak kencang batu-batu yang sangat banyak jumlahnya.
Bukan awannya, bukan airnya. Tapi aliran darahmu yang membuat darahku mengalir tak pasti. Dan betapa menyenangkan suatu hari nanti bisa kembali merasakan aliran darahmu dengan aliran darahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar