Minggu, 17 Juli 2011

1. Raihan

Banyak momen-momen singkat yang terjadi meski sebertar dan sering tanpa direncana memberi kesan luarbiasa sepanjang sisa nafas. Maka beruntunglah bila momen itu adalah pengalaman yang menyenangkan karena setiap kali dikenang akan selalu memberi senang meski di sebarang waktu dan ruang. Teruk sangat bagi sesiapa yang menemukan momen tidak menyenagkan karena setiap kali dia punya kenangan kembali, setiap kali kesengsaraan kembali dan senantiasa menyesakkan hati.

Maka mana-mana di antara dua kenangan rasa itu yang lebih tinggi, pada itulah nasib hidupnya bergantung. Bila momen bahagia yang paling berkesan, maka meski hidup senantiasa diliputi sengsara setiap kenangan bahagia itu kembali maka menjadi bahagialah dia. Maka meski sepanjang sisa hidup bahagia, namun momen rasa yang paling mengesankannya adalah duka, maka selamanya hidup sengsara.

Terakhir kali aku melihatnya waktu aku sedang duduk di depan sebuah meja di dalam sebuah warung kopi. Aku beristirahat melepas lelah. Dia terlihat lebih tinggi, tidak sekurus dulu, kulitnya yang putih terlihat semakin bercahaya. Aku melihat dia mengailkan salah satu ujung segi jilbabnya yang bewarna seperti papaya masak pada sanggul rambutnya yang tertutup. Kalau zebra bewarna hitam-putih, maka warna baju yang dia kenakan hari itu juga dua warna seperti motif zebra, yaitu putih - merah jambu. Dua orang temannya yang mengapitnya juga dapat di golongkan punya kecantikan di level teratas masih jauh ketinggalan kalau dibandingkan kecantikan wanita yang telah membuatku gila sepanjang masa itu.

Waktu itu wajahnya begitu agung, dia begitu mempesona. Tiada sesiapa manusia yang mampu mengalahkan kecantikannya. Dia berjalan diantara kerumunan orang banyak di pasar, namun terlihat dia seperti wanita agung yang kecantikannya jauh mengalahkan para bidadari. Bidadari bekerja untuk mencuci kakinya. Tidak ada bahasa yang sanggup menampung keagungannya. Kecantikannya membuat segala rasaku tunduk sehingga aku rela menderita, patah hati dan merana karena tahu bahwa keagungan wajahnya tak mampu ditampung segala rasaku.

Aku melihatnya masuk ke sebauh toko pakaian yang sarat pengunjung. Kemudian dia hilang di antara orang-orang. Dan sejak itulah aku tidak melihatnya lagi.

Saat terakhir melihatnya aku tidak sempat berfikir tentang Ferry yang apakah sudah melamarnya ketika itu. Apakah pemuda itu begitu cinta pada jantung hatiku. Aku tak sempat berfikir bagamana caranya dia mendekati calon mertuanya. 

Terus terang aku tidak mengenal pemuda itu. Seyakinnya guru Metematika satu tambah satu samadengan dua, seyakin itulah aku bahwa perasaan Ferry padanya tidak ada apa-apanya dibandingkan rasaku pada cinta sejatiku itu. Bukti utama cinta itu tidak agung adalah dia menikahinya. Dia menawarkan bidadariku sebagai tukang tanak nasi untuknya setiap hari. Dia menjadikan cahaya mataku sebagai tukang cuci baju-bajunya yang penuh daki, setiap hari pula. Dia menghinakan cintaku yang agung dengan menjadikannya luluh dengan merawat anak-anaknya. Anak-anaknya adalah bagian di antara makhluk Tuhan yang paling membuatku teriris. Mereka adalah campuran paling larut antara cinta dan cemburuku.
***
Saat itu aku terlambat datang ke masjid untuk shalat, aku segera shalat sendiri dengan mengumandangkan iqamah dengan bunyi sampai telingaku saja. Ini menuruti hadits Nabi yang menyatakan bahwa apabila seseorang tiba di masjid dengan niat untuk shalat berjamaah bersama iman namun dia menemukan jamaah telah usai salam, maka bila dia segera shalat akan dianggap turut berjamaah juga. Tentunya dengan catatan sedang sendiri saja sehingga tidak bisa membuat jamaah yang baru.

Tahu yang kutahu maka setelah beberapa saat aku bertakbir seseorang memukul pelan pundakku. Itu isyarat dia ingin menjadikanku imamnya dalam shalat ini. Saat salam aku menoleh kebelakang dan menyalami satu-satunya makmumku itu. Saat telapak tangan kanan kami sedang bertemu sempat kulirik tanda pengenal di dadanya: FERRY.             

Aku tahu nama itu adalah nama orang yang menjadikan bidadariku sebagai budak tukang cucinya beberapa bulan sebelum pernikahan mereka. Rizal, temanku sejak kecillah yang mengatakannya. Katanya dia adalah Provost Polres Bireuen.

Di lengan pemuda yang sedang kusalami ini berikat rapi karet warna biru tua bertuliskan PROV.  Saat ini sadarlah aku bahwa dimatanya cintaku yang agung tak ada apa-apa dibandingkan pistol yang disangkutkan di dalam sarung pada pinggangnya. Aku tahu bahwa seragamnya sanggup membunuh sejuta cinta yang lebih indah dari bulan purnama. Aku tidak keliru ketika memikirkan bahwa gajinya yang dua juta rupiah sebulan sanggup merobohkan istana cinta yang telah kubina di dalam rasa.

Dia senyum sedetik setelah tangan kami saling melepaskan. Oh betapa kesenangannya mendapatkan cintaku tidak ada apa-apanya dibandingkan penderitaanku. Aku tersiksa. Menahan cinta begitu sakit, sakit sekali. Apa lagi ini akan terus-mererus kualami sampai mati. Aku tidak sanggup, aku tak tahan.

Kali ini aku baru sadar kenapa seua orang mati-matian berjuang untuk mendapatkan cinta pertamanya yang merupakan cinta sejati. Kini kusadira bahwa mereka rela mati karena tahu tidak akan sanggup menghabiskan sisa hidup dalam penderitaan karena memelihara rindu yang luar biasa, mereka tak mampu menahan cinta.

Zaman dahulu orang harus menerima bahwa tenda biru adalah akhir segalanya. Kini masa telah berubah, ada secercah harapan untuk mengobati hati yang hancur, jiwa yang remuk-redam. Di tv artis suka bercerai. Penyakit ini mewabah pada masyrakat awam. Setdaknya penyakit mereka bisa menjadi penawar bagi rasa rindu yang benar-benar telah menjerat diriku. Mudah-mudahan saja ini segera menggejala pada keluarga mereka dan rumah tangga mereka segera bubar.

Meskipun dia awalnya akan menolak kawin lagi dengan alasan ingin fokus merawat-anak anaknya, aku akan berusaha meyakinkannya akan mencintai anak-anaknya sebagaimana anakku sendiri. Besar keyakinanku dia dapat mempercayainya. Aku tidak masalah walaupun dia telah tua dan renta, meski wajahnya telah keriput. Setidaknya untuk sejenak menjelang detik-detik kematian, aku dapat merasakan detak jantung yang ada dalam dada tua itu.

Ketika kusadari betapa kecilnya kemungkinan itu, aku kembali berduka. Hampir tidak ada celah untuk kemungkinan peceraian pada keluarga mapan dengan jaminan gaji dua juta rupiah setiap bulan. Lagi pula hampir tidak ada pegawai negeri yang bercerai. menemukan kenyataan itu membuatku kembali menguburkan harapan. Dengan sangat tersiksa kembali aku harus hidup dalam kesengsaraan.

Karena itu aku sering mengharapkan kematian segera datang agar hilang semua derita. Karena tak dapat menjamin kerinduan akan hilang kalaupun aku telah tidur sendiri di dalam kubur, aku jadi tidak menaruh harapan akan segeranya kematian. Bila menduga bahkan di alam barzakh kerinduan malah menjadi semakin besar, aku mulai takut dengan kata-kata kematian. Allah, kasihanilah aku: Sakit di jantung, hangus di dalam dada; Batapa menderitanya hamba.

Na nyawoeng lon lam dada gata. Nyan nyang hana gata teupeu, hai Adoe. Ada nyawa saya dalam dadamu, itu yang tak kau tau, duhai Dinda. Ketika kau membalas sepucuk surat dariku. Surat itu memang kusadari redaksi permintaanku yang memaksamu menuliskannya. Di sana kau katakan "Jangan menangis karena cinta, menangislah karena Allah".

Kalau nantinya aku menjadi orang gila--meski belakangan telah banyak orang menyebutku gila--maka itu semata-mata karena patah hatiku. Alasan lainnya sebagai pendukung mungkin karena gilanya diriku mempelajari semantik dan filsafat.
***

Raihan, sampai matipun aku tak akan bisa melupakan saat pertama aku melihat wajahmu. Di mana? Tepat di bawah gapura meunasah desa Seuneubok Aceh. Hari itu hari selasa, waktunya jam tiga sore. Cuacanya saat itu terik sangat, matahari menyengat kulit dan ubun-ubun. Saking panasnya sapi malas merumput. Begitu panasnya, itik enggan menyingkir dari waduk. Meski begitu, Raihanku, detik pertama aku melihat wajahmu yang tak akan bisa kulupakan meski aku telah masuk ke dalam kubur, meski dunia ini telah diganti dunia lain. Pandangan, rasa dan semua kesadaranku menempatkanku pada alam yang teduh, pohon yang rindang, rerumputan yang hijau, udara yang sejuk. Detik pertama itu.

Kuingat bajumu garis-garis putih-merah. Baju kurung. Sepedamu bewarna cokelat kau lesatkan melintasi gapura. Ketika itu kau tak sadar sejak saat itu ruhku mulai mengikutimu sampai dunia kiamat. Kuduga kau datang dari surga, kukira kau lari dari istana sana karena lari sebab tak ingin lagi dilayani para bidadari yang membosankan itu. Sejak saat itu, duhai segalaku... tak ada kata-kata dari literatur manapun, baik yang telah usang maupun yang masih ada dalam rahim benak para pujangga yang bisa kupinjam untuk melambangkan rasaku padamu. Aku gembira bersama siksa. Berat terasa olehku cinta ini. Tapi aku, kesadaran terdalamku, telah telah bersumpah untuk menambatkan hati pada kamu saja, selamanya meski senantiasa dalam duka.

Di surga nanti, aku tak ingin menjadi raja atau pangerannya para bidadari, aku ingin menjadi hamba dan budakmu saja. Kekal abadi mengelap tapak kakimu, duhai bahagia tak terkira. Siang malam aku memikirkanmu, pagi dan petang aku merindui. Tak layakkah itu sebagai imbalan?

Allah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar