Rabu, 27 Juli 2011

8. Raihan, Malam Ini Tidak Ada Bintang

Kukatakan pada Makku. "Aku ingin berjumpa dan berbicara dengannya sehari penuh. Karena besok adalah hari kematianku"

Tidak ada yang akan mati lebih bahagia dariku. Karena segala hasrat seumur hidupku telah kupenuhi sehari menjelang kematian. Mungkin para syuhada dan pezina yang mati dirajam dengan senyum karena segala dosanya telah dihapuskan bersama butiran-butiran batu yang menghantam tengkoraknya adalah orang-orang yang berbahagia bersamaku.

Aku duduk mengobrol dengannya. Menanyakan segala perjalanan hidupnya sejak terakhir kami berjumpa. Aku mengenang masa indah saat di meunasah desa Paya Cut. Tidak ada yang memotifasiku untuk berjalan kaki sejauh dua kolometer di malam buta untuk shalat tarawih kecuali harapan dia akan datang. Aku tak parnah libur ke meunasah selama 30 malam meski kutahu sepanjang Ramadhan dia hanya datang 4 sampai 6 kali. Karena aku tak tahu malam apa saja dia akan datang, kiputuskan aku tidak boleh absen. Semua demi kamu, Raihan.

Menanti dengan harap dan cemas seperti kualami di setiap malam-malam Ramadhan rupanya dialami juga semua muslim di seluruh dunia. Bedanya, mereka menanti kedangtanga  Lailatul Qadar, aku menunggu tibanya kekasihku.

Raihan, malam ini tidak ada bintang. Kulit otakku penuh wajahmu. Malam ini begitu dingin. Tidak ada satupun bunyi kendaraan. Tahukah kamu aku mendengar suara burung-burung.

Gedung-gedung di sini senyap seolah menunggu sesuatu. Aku tak tau apa itu. Tapi pepohonan di depan rumahmu kelihatan lebih ramah. Mereka menari-nari dengan perlahan mengikuti hembusan angin.

Raihan rumahmu adalah taman surga. Biarkan saja semuanya menuju Firdaus. Aku ingin tetap di sini, di taman halaman rumahmu. Menunggumu keluar dengan baju pengantin bewarna putih. Kunanti wajahmu hadir kembali di hadapanku.

Raihan, mataku rindu menatapmu kembali. Raihan aku sepi sendiri di sini. Aku tidak sanggup. Tidak sanggup saat membayang kan engkau sedang lelap bersama anak-anak dan suamimu di sebuah rumah bahagia.

Aku di sini seperti cacing yang yang dilumuri abu dapur. Setiap malam aku keluar menantang ganasnya udara malam yang menikam hingga sela-sela rusuk.  Aku mencari wajahmu di atas langin yang kelihatan hampa. Bila ke laut aku menungu-nunggu bila-bila wajahmu timbul dari dasar samudera.

Raihan, aku sengsara. Pada siapa aku mengadu kalau bukan pada namamu yang telah menyatu bersama segala ingatanku. Namamu telah menguasai seluruh memori pikiranku.

Mentra 58, 28 Juli 2011
»»  READMORE...

7. Provokasi


Ceritakan saja kejelekan seseorang yang dianya benar-benar kamu tidak suka. Maka saya langsung membenci orang itu. Bahkan bila tujuanmu murni untuk memprovokasi, sayapun akan langsung terpengaruh.

Mak sering menceritakan sisi-sisi negatif tentang Raihan dan keluarganya karena tidak suka melihat saya selalu menangis hingga kehabisan tenaga setiap setelah bertemu Raihan. Setiap pulang berjumpa Raihan saya langsung mengunci diri di dalam kamar. Terkenang sangat indah bersama dengannya beberapa waktu tadi dan langsung menangis sejadi-jadinya.

Saya tidak tau kenapa begitu. Saya menduga karena roh saya telah tau saya akan menderita seumur hidup sebab tidak ditakdirkan menjadi pasangannya.

Di kamar tempat saya mengunci diri dan menangis sejadi-jadinya beberapa tahun ke depan Raihan menyisir rambutnya yang luar biasa panjang. Malam itu pulang dari Pidie usai Basic Training PII. Tidak mungkin saya mengantarnya langsung ke rumah karena kami tiba di Bireuen telah malam. Jadi dia menginap satu malam di rumahku.

Saat dia sedang menyisir rambut Mak kebetulan masuk. Mak terkejut dan sangat kagum melihat rambut Raihan yang sangat panjang. "Ya Allah, panyang that ök dih i dara nyoe" mak setengah berteriak, setengah histeris.

Raihan, kukagumi kecantikanmu. Kupuja keanggunanmu sampai aku mati. Kusimpan kenangan-kenangan indah tentang dirimu. Aku setia mencintaimu sampaiku mati.
»»  READMORE...

Minggu, 17 Juli 2011

5. Aku Takut Mimpi Kamu

Kalau malam tiba aku takut untuk tidur. Aku takat akan bermimpi tentang kamu. Yang sebenarnya kutakutkan adalah ketika terbangun dari mimpi. Satu lagi, yang kutakutkan, adalah akhir dari mimpi. Biasanya, akhir mimpi, selalu menakutkanku, menyakitkan. Walau apapun akhir mimpi, ketika terbangun, selalu membuatku gelisah, sakit sekali, tapi tak tau sakitnya di mana. Allah, saya selalu tersiksa.

Suatu malam aku bermimpi Raihan duduk berdua dengan Ibuku. Aku melihatnya dan yakin bahwa Ibu mencoba merayu Raihan untuk menerimaku sebagai suami. Dalam mimpi itu Raihan belum menikah. Dia hampir akan menikah, tapi pertunangannya batal. Terdengar olehku Ibu berkata padanya.
                "Menikahlah dengannya, jangan khawatir meski dia sudah beristri." Maksud Ibu, beliau yakin cintaku kepadanya akan sepenuhnya hingga tak sedikitpun tersisa untuk istriku.
                Bahkan aku rela menceraikan istriku bila Raihan menerimaku sebagai suami, Ibu. aku ingin lebih baik Ibu menyampaikan kalau aku akan menceraikan isteriku. Agar Raihan semakin mantap menerimaku.
                Setelah ibu selesai berbincang dengan Raihan, aku mencari-cari kekasih hatiku itu di sekitar pondok tempat Ibu berbincang tadi. Sesuatu memberitahuku Raihan berada di rumah Kakekku. Aku ke sana menemui para penghuni rumah. Aku tidak dibolehkan menjumpai Raihan sebelum sungkeman denga Kakek dan Nenek. Terlebih dahulu aku meraih tangan ayahnya Ayahku, Ampon Banta Leman yang biasa kami panggil Ampon Nek. Aku mencium tangan beliau yang sebenarnya telah Almarhum. Setelah mencium tangannya, beliau memintaku mencium pipi kanannya, saat mencum pipi kanannya, aku melihat segumpal keci darah yang kelihatan mengeras, tapi masih merah segar dekat telinga beliau. Saat mulutku dengan mulut beliau mendekat waktu menarik wajahku, beliau sempat memasukkan sirih yang sedang beliau kunyah kedalam mulutku. Aku mengecap isi mulutku itu, terasa manis air pinangnya yang telah memerah. Apa makna itu? aku masih bertanya-tanya. Mungki sebagai syarat dari belau agar dapat aku menemui Raihanku.

Lalu aku menemui Nenek yang duduk meluruskan dua kaki dan menggempit keduanya sedang beliau menyiapkan bakong asoe untuk disisipkan antara gusi dan kulit dalam bibirnya yang biasa dilakukan orang tua. Setelah mencium tangan Nenek, Raihan dipersilakan naik tangga dekat Nenek duduk dan menemuiku.

Allah, aku menjumpai Raihan. Bagaimana perasaanku, tak bisa kuungkapkan! Jantung hatiku mengenakan jilbab segi empat tipis bewarna merah jambu. Bajunya kombinasi garis-garis warna hitam biru dan hijai, dikit merah dengan warna dasar putih. Rok kembangnya bewarna merah jambu juga. Ya Allah, dia sangat anggun. Bidadarimu tidak ada satupun yang menandingi kecantikannya. Ya, Allah, simpan saja bidadari-bidadari-Mu, di surga, aku mau bersama Raihanku saja.

Aku mengajaknya kencan, saat sedang berjalan bersama akan memasuki sebuah mall, aku menyandarkan bagian kanan kepalaku di bahu kanannya. Dia memiliki tinggi sama denganku karena sedikit dibantu sepatu tinggi. Nyaman sekali. Aku sadar tia tidak nyaman dengan ini. Aku tak bergeming. Dalam hayalanku selalu, aku hanya akan bisa bersandar seperti ini padanya kelak bila dia tua dan suaminya telah mati. Tapi ternyata aku bisa melakukan ini saat ini, saat dia masih jelita dan aku masih muda.
                Aku sadar akan beresiko besar menyandarkan kepala di bahunya saat ini. Tapi aku tak mau menghentikan tindakanku karena kutahu dalam setiap mimpi dan renunganku, aku menginginkan situasi seperti ini. Raihan, andak kau tahu besarnya cintaku padamu.
                Menuju warung makan di sebuah warung kelas bawah di dalam mall, yang tampaknya di sana, Raihan sidah terbiasa makan di sini, aku teringat tidak bawa rokok. Aku berfikir ingin permisi keluar gedung cari rokok karena di warung di dalam gedung mall, harga rokok mahal. Tapi aku tak ingin meninggalkan Raihan. Entah kenapa aku sadar momen ini hanya sementara, jadi tidak ingin aku mensia-siakannya.
                Saata Raihan memesan dua nasi aku baru sadar perutku belum lapar. Memesan kopi dan merokok saja sambil menatap belahan jantungku adalah lebih efektif bagi saat-saat yang sangat langka ini, pikirku. Aku ingin membatalkan saja nasi untukku dan biar nasi dipesan satu porsi saja buatnya. Kalau ku katakan dengan suara rendah, aku yakin koki dan pelayan tidak akan atau pura-pura tidak dengar. Bukankah itu siasat mereka untuk mencari uang.? Maka berteriaklah aku mengatakan agar nasinya satu porsi saja. Raihan sangat malu dengan tindakanku yang tidak sopan dan membuatnya sangat malu. Dia menginjak kakiku dengan ujung tumit sepanya yang runcing. Aku menjerit dan terbangun.

Aku terkenang saat Raihan sakit saat Latihan Kepemimpinan di Sigli. Aku membelikannya nasi, tapi dia tidak memakannya. Kenapa waktu itu aku sangat bodoh dan tidak teringat untuk membeli makanan lain seperti sate dan bakso setelah menemukannya tidak selera makan nasi. AKu bodoh, aku ceroboh, akalku pendek, akalku sempit. Aku menyesal, aku menyesal sekali. Aku sangat menyesal.

Aku menyesal kenapa tidak masuk ke ruang saat dia berbaring sakit di kamar peserta. Aku menyesal kenapa aku hanya mengintipnya saja dari balik pintu. Aku menyesal tidak masuk dan mencoba mengobrol dan menghiburnya. Aku menyesal sekali. Tapi, setidaknya, hai belahan hati, kini kamu adalah kader PII, sama seperti diriku.
                Mencintaimu adalah masalah sekaligus anugerah bagiku, sekaligus masalah. Aku tidak bisa mensyukuri cinta ini karena hatiku sendiri sebagai bagian dari 'syukur' itu sendiri. Sama seperti aku tidak bisa keluar dari masalah ini, sebab, diriku sendiri adalah bagian dari masalah itu sendiri.
                Memang benar adanya, cinta sejati itu tidak membutuhkan badan. Cinta sejati menemukan esensi, bukan bergulat bersama eksistensi.
                Raihan, memang surga telah kumasuki sebelum bumi ini digulung, kalau saja kau hidup bersamaku.

»»  READMORE...

4. Jawa, Negeri di Awan

"Tajak Beutroh, ta eue beu deueh" kata seniman Aceh, Rafly. Maksudnya, pergilah hingga tiba dan coba memandang hingga benar-benar melihat. Agar, segala sesuatu tidak sebatas diduga, tidak segera percaya dari apa orang kata dan tidak sembarang berasumsi. Maka pesannya adalah dengan mendatangi sendiri sumber berita hingga benar-benar tiba dan melihatnya sendiri dengan mata kepala. Dengan itu, baru bolehlah kita menilai sesuatu.

Jawa adalah bangsa yang mendapatkan stigma negatif bagi kalangan masyarakat Aceh selama konflik (1972-2005?). Karena, masyarakat Aceh menganggap pemerintah pusat hanya berpihak pada masyarakat Jawa. Juga, karena mereka menganggap orang Aceh harus lebih sejatera daripada orang Jawa karena Aceh memberikan sumbangan sumber daya alam (SDA) yang jauh lebih banyak daripada Jawa. Juga, karena aparat keamanan yang dikirim ke Aceh keanyakannya adalah orang Jawa. Secara keseluruhan, menurut anggapan anggota GAM dan masyarakat yang dililit konflik "Jawa" adalah representasi dari masyarakat Indonesia selain Aceh.

Tindakan aparat di Aceh semasa konflik memang sangat biadab. Konon demikian katanya. Menurut radio bergigi, seorang gadis diperkosa di depan Abu-nya.Di Rumoh Geudong, Pidie, konon penyiksaan oleh aparat terhadap anggota GAM yang melanggar HAM manapun sering berlaku.

Para pemuda sering dijemur betelanjang dada di atas aspal di bawah terik siang menyengat. Biasanya ini dilakukan saat aparat melakukan pengejaran terhadap GAM, namun mereka berhasil lolos kembali ke hutan.

Seorang supir angkutan pedesaan, bernama Si Lie Ma'e Inggreh adalah orang pertama yang mampu dan berani mengangkat realita ini ke ranah publik secara kritis. Di tengah pasar Matanggumpangdua dia mengkritik tindakan GAM secara tegas dan suara lantang: "Orang GAM beraninya cuma bunyikan senjata di tengah pemukiman warga, saat aparat akan tiba, mereka lari. Jadilah warga sipil sebagai tumbal".

Memang demikian adanya. Anggota GAM suka membunyikan senjata api di tempat-tempat keramaian warga seperti pasar dan pemukiman. Tentu saja tindakan ini memancing aparat untuk turun dan mencari GAM. Namun GAM pastinya telah terlebih dahulu menghilang ke tengah kepanikan warga bila di pasar dan lari kehitan bila di pemukiman. Di pasar agak lumayan karena aparat yang marah hanya melampiaskan kemarahannya dengan menembaki kaca-kaca toko meskipun tidak jarang banyak warga yang kena peluru nyasar. Parahnya bila GAM memancing di perkampungan, maka aparat, yang biasanya Brimob suka turun ke kampung sumber bunyi ledakan senjata dan menggeledah semua rumah serta memaksa keluar semua laki-laki kecuali anak-anak dan tua renta. Tidak jarang mereka keliru dengan memaksa keluar orang stres yang telah sakit bertahun-tahun. Orang stres seperti ini biasanya dirantai dan dipasung. Melihat rantai dan pasungan, aparat menemukan pemandanga yang sangat dramatis. Mereka berasumsi macam-macam: Mungkin dia adalah GAM yang ditangkap sendiri oleh keluagranya lalu dirantai sambil menunggu aparat yang menjemput; mungkin dia adalah GAM yang terlebih dahulu ditangkap teman aparat lainnya namun belum sempat diboyong ke markas. Sambil memandang dengan seksama wajah orang stres dalam pasungan, mereka juga berasumsi: mungkin ini adalah teman aparat yang ditangkap GAM.

Laki-laki dewasa yang dipaksa keluar rumah dibariskan di suatu tempat dan diperiksai KTP masing-masing. Musibah bila: satu, dia beralamat pada desa-desa yang digaris merah oleh aparat. Dua, tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik.

Masalah kedua ini pernah dialami Daud. Saat para pemuda dibariskan  di pinggir jalan dekat sebuah sungai, mereka diinterogasi. Karena mereka membuat bingung aparat, mereka dibawa ke bibir sungai. Dengan menghadap ke sungai, mereka diperintahkan berjalan beberapa langkah ke depan. Daud, karena sadar tidak bisa berenang, masing hanya beberapa langkah memasuki air. Padahal teman-temannya yang lain sudah hampir tenggelam seluruh dadanya. Kawan-kawannya bahkan sudah berada hampid di tengah aliran sungai.
                Geram Daud dianggap tidak patuh, seorang aparat membentaknya, "Ke tengah lagi, kau." Maksudnya agar dia bisa berdiri sejajar dengan teman-temannya yang lain.
                Mendengar perintah itu, bergegas Daud menuju bibir sungai. Melihat Daud yang menentang instruksi, aparat spontan marah. Dia ditendang dan terlempar jauh hingga mencapai ke tengah sungai.
                Daud yang tidak mengerti bahasa Indonesia mengira, dia diperintang untuk 'teungeh'. Kata itu dalam bahasa Aceh bermakna naik dari bawah ke atas. Orang yang sedang mandi di kolam atau sungai bila diperintahkan atau ingin menepi disebut 'teungeh'. Mengangkat orang yang jatuh ke dalam sumur lalu di angkat disebut: peu'tengeh'.
                Sekejam itukah aparat yang notebenenya berasal dari Jawa itu? Apa memang demikian karakter masyarakat Jawa? Jawabannya: Tidak!
                Bahkan tentara-tentara yang didaulat untuk menjadi "mesin pembunuh" biasanya dikirim dari luar pulau Jawa. Biasanya dari Maluku atau Nusa Tenggara. Satuan Brimob yang terkenal ganas biasanya mereka yang dari Lampung. Kalau saja mayoritas aparat itu bukan dari Jawa, entah bagaimana lagi nasib orang Aceh.
                Orang Jawa dibesarkan bukan dengan benci, mereka tidak diberi maka dendam. Suku Jawa adalah suku yang paling mudah menerima segala dinamika hidup. Mereka memiliki etos kerja yang luar biasa tinggi.Orang Jawa mampu mengolah hutan rimba menjadi ladang. Mereka menyulap gunung berubah sawah.
                Saat transmigrasi diimplementasikan, perekonomian di Aceh berputar kencang. Pribumi merasakan betul dampak positifnya. Namun ada suatu perbenturan kebudayaan yang tidak dapat diterima masyarakat di sana. Masyarakat Aceh marah karena transmigran dari Jawa tidak berpakaian dan bertata hidup sebagaimana dijalankan masyarakat di sana. Mereka menuding Jawa tidak beragama.
                Jawa tidak beragama? Aku menilai sebuah masyarakat taat beragama atau tidak, salahsatunya, adalah dengan melihat perempuannya berpakaian. Aku naik bus angkutan di Jawa Tengah. Aku semakin terkejut saat melihat hampir semua perempuannya berpakaian sopan dan berjimbab. Semakin kuoerhatikan semakin aku takjub. Kubuat saja model statistik ala-ku sendiri. Aku menghitung perempuan-perempuan dari sati sampai lima. Lalu diantara lima hitungan kujumlahkan berapa orang yang berjilbab, berapa yang tidak. Hasil perhitunganku diantara empat, satu yang tidak. Selanjutnya dua tidak, tiga berjilbab. Dan seterusnya hingga saat kurata-ratakan. Ternyata empat dari lima perempuan Jawa berjilbab. Ini aneh bagiku. Sebab sebelumnya benakku tak dapat diganggu: orang Jawa tak baik dalam beragama. Tapi kesimpulan yang kudapatkan ini merubah derastis pandanganku. Kusadari selama ini aku keliru.
                Aku yang bingung campur keliru terkenang dengan gadis-gadis di Aceh yang memakai jilbab seperti mengisolasi kepala dengan kain. Teringat dengan potongan celana mereka yang menampakkan jelas lekuk selangkangan depan dan belakang. Sesuatu yang telah lama kusadari: kebanyakan perempaun di Acej terpaksa membungkus aurat karena paksaan Perda yang diubah nama: Qanun.
                bagian dari keadaan-keadaan yang membuatku nyaman dan menikmati adalah dikala aku di dalam bus lalu menikmati indahnya pemandangan hutan, gunung-gunung, pedesaan dan bentangan sawah. Saat aku sedang menikmati perkebunan sawit yang kadang-kala membuat hatiku sakit, aku dikejutkan oleh aksi seorang ibu muda yang ketika beberapa saat bus Pelangi memasuki wilayah Sumatera Utara meninggalkan kawasan Tamiang. "Merdeka" katanya sembari menarik kuat jilbab kurungnya dan menghempas-hempaskan rambutnya hingga terurai.
                Pengalaman itu mengingatkan pada perjalanan ke Medan pada saat yang lain ketika aku berada di jok paling belakang bersama seorang wanita Kristen yang anggun dengan jilbab bewarna abu-abu yang setia menutupi bagian atas badannya kecuali wajah. Dia kelihatannya nyaman benar dengan jilbabnya itu. Waktu itu aku tidak sempat menduga dia adalah intel tentara atau bukan meskipun dalam obrolan kami yang sangat menyenangkan itu dia sempat mengaku tinggal di asrama prajuri di Keutapang. Sampai kami berpisah di tengah-tengah kota Medan kulihat dia begitu khidmad dengan jilbabnya. Sempat kutanyakan kenapa dia berjilbab. "Menghormati kaum muslim dan Syariat Islam". Jawabannya begitu sederhana. Tapi aku menemukan makna yang mendalam dibalik kata-katanya.
                Kalau saja tidak karena tidak ingin dia malah akan seperti ibu muda di dalam Pelangi tadi setelah menjadi muslim, akan kuajak dia masuk Islam.
                Duhai indahnya menikmati alam di balik jendela bus yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan tikungan-tikungan patah.
                Karena itu Rafly berseru untuk tidak segera menilai sesuatu sebelum menghampiri danbenar-benar melihat dengan mata kepala sendiri. Di Tanah Jawa aku menemukan manusia-manusia yang ruar biasa gigih bekerja. Aku yakin takkan ada kompetisi yang tidak akan dimenangkan orang Jawa karena keuletan dan ketekunannya. Di pedalaman Jawa akan kita temukan orang-orang yang turun ke ladang melawan dingin di pagi buta. Mereka bekerja di tangah-tengah kabut yang takkan minggat kecuali telah tepat di atas kepala kalaupun cuacanya cerah. melihat tanah Jawa membuat kita teringat tentang dongeng tentang sebuah negeri di Awan.

»»  READMORE...

3. Bukan Awannya. Bukan Airnya

Bukan karena indahnya gunung di waktu petang yang puncaknya mengagumkan karena diselimuti manja awan-awan tipis. Awan-awan seolah-olah enggan, seakan-akan ingin: merangkul puncak gunung yang terlihat olehku melalui kaca jendela mobil yang sedang melaju kencang, namun terasa terbang manja bagaikan layangan yang enggan menerima hembusan agin padahal dia membutuhkannya sebagai penyangga agar tetap melayang, agar tetap terlihat elok. Mobil kurasa terbang manja meski beberapa penumpangnya memegang dada karena supirnya menginjak pedal gas seakan tak waras, sedang bersiul-siul pula mengikuti alunan irama yang diputarnya melalui mp tiga.

Ya Allah, kau kirimkan sakit gigi yang begitu nyeri selama tiga puluh hari tanpa henti hamba dapat amini. Tapi meninggalkan kenangan pulang dari Pidie menumpang angkutan bus mini bewarna merah, hamba tak mampu. Allah, hamba tak kuasa. Hati hamba lemah, lemah karena kau kuatkan selalu ingatan hamba saat ketika jantung hamba seakan melompat ke lantai tempat taruh kaki, badan hamba seketika menggigil semua. Rasanya semua molekol yang menyusun tubuh hamba meleleh bagaikan gunung garam yang disapu gelombang.

Saat mobil hendak berangkat, aku menawarkannya buku Kahlil Gibran. Bagiku buku itu indah sekali, benar-benar menyentuh rasa. Bahkan telah lusuh karena telah berulangkali kukhatami. Dia mengambil buku itu, mencoba membaca beberapa paragraphnya. Lalu dikembalikannya padaku. "Tidak memahami, saya" katanya.


Aku tidak pernah tertarik untuk menafsirkan ucapannya. Akalku lumpuh dan hanya kalimat ucapannya kuangkat di atas kepala, kuisi di atas nampan, kubungkus kain sutera, kutaruh di atas kepala, kubawa ke mana-mana hingga nanti aku mati.

Baru hampir sepuluh tahun kemudian aku dapat mencerna makna kalimat ucapannya. Memang puisi sulit dipahami banyak orang kecuali yang sedang mabuk kepayang dilanda asmara dipanah cinta. Memahami maknanya malah hanya menambah luka, memperparah keadaanku.

Terus-terang sangat ingin aku mengetahui kabar tentang dirimu, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu sudah menjadi guru Bahasa Inggris? Mengajar di mana? Apa kabar suamimu? Apakah dia sudah naik pangkat? Bagaimana-anak-anakmu? Ah, menyebut yang terakhir aku jadi malu pada masyarakat. Untuk apa mengurus anak orang.

Tahukah kamu hingga hari ini dan bahkan besok cintaku padamu takkan mungkin sedikitpun berkurang. Tahukah kamu hari-hariku melihatmu adalah kenyataan terindah dalam hidupku. Tahukah kamu memandang atap rumahmu dari atas bukit yang kulintasi untuk pergi memancing ikan di sungai Peusangan kenikmatannya takkan dapat digantikan dengan seribu milyar bintang-bintang.

Mencintaimu sampai besar anak-cucumu nanti memang terlihat tidak relistis. Namun bukankah sejak big-bang semuanya tak ada yang real.

Aku berhayal ketika kamu tua nanti, suamimu telah mati, anak-anakmu telah pada pulang ke rumah mertuanya, aku, di kamar depan rumahmu yang setiap lebaran selalu kukunjungi saat kita lajang dulu, memelukmu setiap saat. Duhai Tuhan. Inilah jalan paling indah nagi hamba menanti detik-derik kematuan. Menyandarkan kepala pada bahu yang kepalanya jatuh ke bahuku saat aku menatap puncak gunung yang diselimuti awan tipis bewarna putih.

Saat kepalanya jatuh kebahuku aku bergetar dan menggigil, kukira karena awan yang menyapa ujung bukit, kukira karena jernih air sungai Batee Iliek yang berkelok-kelok alirannya karena menabrak kencang batu-batu yang sangat banyak jumlahnya.

Bukan awannya, bukan airnya. Tapi aliran darahmu yang membuat darahku mengalir tak pasti. Dan betapa menyenangkan suatu hari nanti bisa kembali merasakan aliran darahmu dengan aliran darahku.

»»  READMORE...

2. Madonna

Setiap kira-kira jam 3 sore, kami sering duduk di pinggir jalan yang menghubungkan Simpang Galon Meunasah Blang Brieuen dengan desa Blang Rheum. Blang Rheum adalah desa seberang bukit Cet Gon Bhan sebagai desa yang paling rawan dilintasi anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) karena berada di sisi peguningan. Selaku muda-muda lajang, apa lagi yang kami lakukan selain menumpang nongkrong di sebuah warung dengan rokok sebatang di tangan. Hampir setiap hari setiap waktu yang telah saya sebutkan melintas dengan cepat sepeda motor Honda GL-Pro yang dikendarai pemuda tinggi 180cm dengan perawakan tampan, badan tegap, bahu kekar dibungkus kulit kuning langsat. Jambang lebat namun pendek sangat kontas dengan warna kulit wajah menambah sangar ketampanannya.

Setiap setelah pemuda itu melesat ke arah kota Bireuen, kami sudah boleh kembali ke rumah. Ibu-ibu sudah bisa mencari-cari bocah mereka yang sedang bermain di rumah-rumah tetangga untuk diboyong masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dengan rapat. Kaum ayah yang kebetulan hendak berangkat ke pasar bila ditengah perjalanan menemukan GL-Pro melesat kencang, sudah boleh mengurungkan niat dan balik kanan kembali ke rumah. Para pemuda yang sedang menikmati secangkir kopi hitam kental yang baru diteguk setengah cangkir meski telah berlalu dua jam dihidangkan, sudah boleh bergegas mengeluarkan seribu rupiah dari saku dan menghirup habis sisa setengah cangkir lagi dalam satu tegukan lalu bergegas kembali ke rumah. Pemilik warung sudah harus segera mengemaskan barang dan menutup usaha untuk sementra. Sebab, selalu begitu, paling lama dua Puluh Menit setelah Madona melesat ke arah kota, pastilah mengudara dengan keras beberapa suara tembakan senjata berjenis Colt Revolver R1. Selanjutnya satu menit setelah dua atau tiga bunyi senjata yang dipatenkan Samuel Colt pada 1863 itu, berkejar-kejaran, seolah saling mendahului bunyi bunyi senjata mesih lasar panjang seperti M-16, dll. Saat riuh-riuh itu, semua kendaraan mengarah pada satu tujuan, menjauhi kota Bireuen; tidak peduli jalan masuk-jalan keluar, tak urus, lampu merah maupuh hijau. Kondisi ini persis seperti setiap ada isu air naik (tsunami) yang tersiar hampir setiap hari setelah 2004.

Menurut berita yang disampaikan radio bergigi, Madonna pernah menabrak seorang balita. Pastilah balita itu tewas seketika. Bukankah kecepatan minimum dia melajukan kendaraannya adalah 100km/jam.

Madonna adalah warga desa kami. Desa kami memang sudah "digaris merah" oleh aparat. Artinya salah-satu desa yang paling banyak dialamati anggotaGAM. Biasanya pemuda-pemuda dan kaum ayah yang mengantongi KTP desa "garis merah" akan lebih kesulitan bila setia ada razia KTP yang biasanya sering dilakukan di pasar, kendaraan, atupun setiap aparat melakukan operasi militer ke desa-desa.

Madonna sudah beberapa kali meminta dana perjuangan kepada seorang janda kaya di salah-satu desa di Bireuen. Berulang-kali pula janda itu menolak memberikan. Hingga suatu waktu wanita itu meminta Madonna datang sendiri ke rumahnya untuk menjemput dana yang dimintakan. Wanita umur 35-an itu memintanya untuk tidak membawa senjata laras panjang dengan alasan takut ketahuan aparat.

Madonna-pun datang pada jam 3 siang. Setelah GL-Pro-nya melintas dari arah Blang Rhem-Simpang Galon, dia berbelok ke kiri. Motornya tetap melaju kencang. Tiba-tiba dari sebuah  lorong kecil keluar mobil Kijang Minibus bewarna hitam pekat. Awalnya Madonna tidak menyadari ada mobil yang mengejarnya dari belakang. Setelah bunyi tembakan M-16 dari belakangnya, melesatlah peluru melintasi sebelah kanan bahunya, barulah dia menoleh ke belakang. Sadar mobil yang dilihatnya adalah milik Brimob, maka dia semakin mengencangkan laji kendaraannya. Sambil mengendarai motor dengan tegang, dia memutar otak mencari jalanan yang bisa membuatnya lolos. Dia terus mejalu hingga menemukan sebuah persimpangan sebelah kanan. Dengan gesit diapun masuk ke jalan kecil itu. Kijang di belakangnya terus mengajar.

Sial bagi Madonna, dia hanya mengantongi Colt. Padahal kadang-kadang dia turut membawa AK-47 bersamanya yang diselipkan dipunggungnya dan ditutupi jaket tebal bewarna hitam.

Madonna terus berpikir cara untuk lolos.  

Aku harus memperkirakan jumlah mereka di dalam mobil itu. Aku harus mencari cara agar mereka dapat keluar. Pikirnya sambil terus melesat kencang.

Melintasi jalanan di perkampungan, Madonna menemukan rel kereta api yang masih baru dibangun. Kata Ayahku, rel kereta api adalah proyek yang didanai asing dengan perhitungan anggaran Rp. 1 Milyar per km. Tentu saja perkiraan ini tanpa menempuh obserfasi yang realistis. Mungkin perhitungan anggaran sebesar ini dengan dugaan menimbun rawa atau sawah. Padahal para pemangku kebijakan hanya perlu menambah kerikil setelah mencabuti rel lama, memasang rel baru dan siap pakai. Anggaran Rp. 1 Milyar untuk tiap km-nya tentu saja sangat berlebihan.

Ayahku mengatakan proyek pembangunan rel kereta api itu adalah kesepakatan Gubernur waktu itu dengan asing. Dan memang nyatanya setelah Gubernur itu diturunkan dari jabatannya. Dia diturunkan akibat tersandung kasus, yang menurut ayahku dia terlalu ceroboh dalam "bermain". Ayah bilang dia bodoh dengan "bermain-main" dengan aparat. "Masak uangnya aparat dihajar juga." kata Beliau.

Rel dipasang mulai dari stasiun lama di depan markas TNI Bireuen terus ke arah timur. Rel yang terpasang waktu itu baru sampai kota Lhokseumawe. Saat itu pasir belum terlalu cukup. Dengan kondisi begitulah Madonna memutar kendaraannya memasuku rel setelah terjebak di desa Cureh. Di antara kedua sisi rel itu dia masih mampu memacu kendaraannya dengan kencang. Tentu saja Brimob itu tak bisa mengejar. Merekapun semuanya berhamburan keluar.

Meleset dari yang dia duga sebelumnya. Jumlah mereka ternyata tujuh. Dia kira enam. Tapi Madonna sudah keburu mencampakkan motornya di bantalan rel. Dia lari ke semak-semak. Aparat itu terus mengejarnya dengan sangat waspada. Tersembunyi di balik dedaunan pohon, Madonna dadat menembak mati satu-persatu aparat tanpa kewalahan. Namun sayang, Colt-nya hanya punya enam peluru. Naas bagi Madonna...

Seorang aparat yang tersisa menyadari Madonna kehabisan peluru langsung meloloskan diri ke semak-semak seberang rel. Dia sadar senjata digunakan Madonna adalah Colt yang isinya enam peluru. Lama dia bersembuni di semak menunggu apakah Madonna sedang mengisi ulang peluru atau dia membawa senjata lainnya.

Lama menunggu tak ada tanda apapun, aparat yang tinggal seorang itu memberanikan diri menyeberang rel menyusuri semak ke arah Madonna dia perkirakan berada. Tiba-tiba dia menemukan pria berkaos putih itu nyaris terbaring menyamping dengan siku kanan dijadikan tempat bertumpu. Dia terlihat sedang menyeret-nyeret bubuhnya. Ternyata paha kiri anggota GAM itu telah tertembak. Dari balik jeansnya keluar darah terus-menerus. Tanpa menghiraukan wajah Madonna yang sedang merintih kesakitan, aparat Brimob langsung menghujamkan peluru M-16 nya. Satu ke perut dan satunya lagi ke kepala.

Berita tentang tewasnya Madonna disebarkan harian "Serambi Indonesia" keesokan harinya. Aku  terkagum mendenngar cerita tentang caranya tewas. Dia sangat heroik. Kalau saja ini bukan kisah nyata tapi berada dalam adegan film Hollywood, maka dapat kupastikan Madonna akan dapat melumpuhkan Brimob yang seorang lagi itu.

Duh, salah seorang anggota GAM yang paling ditakuti dan paling dicari aparat ternyata tewas karena dijebak seorang janda. Aduh!

»»  READMORE...

1. Raihan

Banyak momen-momen singkat yang terjadi meski sebertar dan sering tanpa direncana memberi kesan luarbiasa sepanjang sisa nafas. Maka beruntunglah bila momen itu adalah pengalaman yang menyenangkan karena setiap kali dikenang akan selalu memberi senang meski di sebarang waktu dan ruang. Teruk sangat bagi sesiapa yang menemukan momen tidak menyenagkan karena setiap kali dia punya kenangan kembali, setiap kali kesengsaraan kembali dan senantiasa menyesakkan hati.

Maka mana-mana di antara dua kenangan rasa itu yang lebih tinggi, pada itulah nasib hidupnya bergantung. Bila momen bahagia yang paling berkesan, maka meski hidup senantiasa diliputi sengsara setiap kenangan bahagia itu kembali maka menjadi bahagialah dia. Maka meski sepanjang sisa hidup bahagia, namun momen rasa yang paling mengesankannya adalah duka, maka selamanya hidup sengsara.

Terakhir kali aku melihatnya waktu aku sedang duduk di depan sebuah meja di dalam sebuah warung kopi. Aku beristirahat melepas lelah. Dia terlihat lebih tinggi, tidak sekurus dulu, kulitnya yang putih terlihat semakin bercahaya. Aku melihat dia mengailkan salah satu ujung segi jilbabnya yang bewarna seperti papaya masak pada sanggul rambutnya yang tertutup. Kalau zebra bewarna hitam-putih, maka warna baju yang dia kenakan hari itu juga dua warna seperti motif zebra, yaitu putih - merah jambu. Dua orang temannya yang mengapitnya juga dapat di golongkan punya kecantikan di level teratas masih jauh ketinggalan kalau dibandingkan kecantikan wanita yang telah membuatku gila sepanjang masa itu.

Waktu itu wajahnya begitu agung, dia begitu mempesona. Tiada sesiapa manusia yang mampu mengalahkan kecantikannya. Dia berjalan diantara kerumunan orang banyak di pasar, namun terlihat dia seperti wanita agung yang kecantikannya jauh mengalahkan para bidadari. Bidadari bekerja untuk mencuci kakinya. Tidak ada bahasa yang sanggup menampung keagungannya. Kecantikannya membuat segala rasaku tunduk sehingga aku rela menderita, patah hati dan merana karena tahu bahwa keagungan wajahnya tak mampu ditampung segala rasaku.

Aku melihatnya masuk ke sebauh toko pakaian yang sarat pengunjung. Kemudian dia hilang di antara orang-orang. Dan sejak itulah aku tidak melihatnya lagi.

Saat terakhir melihatnya aku tidak sempat berfikir tentang Ferry yang apakah sudah melamarnya ketika itu. Apakah pemuda itu begitu cinta pada jantung hatiku. Aku tak sempat berfikir bagamana caranya dia mendekati calon mertuanya. 

Terus terang aku tidak mengenal pemuda itu. Seyakinnya guru Metematika satu tambah satu samadengan dua, seyakin itulah aku bahwa perasaan Ferry padanya tidak ada apa-apanya dibandingkan rasaku pada cinta sejatiku itu. Bukti utama cinta itu tidak agung adalah dia menikahinya. Dia menawarkan bidadariku sebagai tukang tanak nasi untuknya setiap hari. Dia menjadikan cahaya mataku sebagai tukang cuci baju-bajunya yang penuh daki, setiap hari pula. Dia menghinakan cintaku yang agung dengan menjadikannya luluh dengan merawat anak-anaknya. Anak-anaknya adalah bagian di antara makhluk Tuhan yang paling membuatku teriris. Mereka adalah campuran paling larut antara cinta dan cemburuku.
***
Saat itu aku terlambat datang ke masjid untuk shalat, aku segera shalat sendiri dengan mengumandangkan iqamah dengan bunyi sampai telingaku saja. Ini menuruti hadits Nabi yang menyatakan bahwa apabila seseorang tiba di masjid dengan niat untuk shalat berjamaah bersama iman namun dia menemukan jamaah telah usai salam, maka bila dia segera shalat akan dianggap turut berjamaah juga. Tentunya dengan catatan sedang sendiri saja sehingga tidak bisa membuat jamaah yang baru.

Tahu yang kutahu maka setelah beberapa saat aku bertakbir seseorang memukul pelan pundakku. Itu isyarat dia ingin menjadikanku imamnya dalam shalat ini. Saat salam aku menoleh kebelakang dan menyalami satu-satunya makmumku itu. Saat telapak tangan kanan kami sedang bertemu sempat kulirik tanda pengenal di dadanya: FERRY.             

Aku tahu nama itu adalah nama orang yang menjadikan bidadariku sebagai budak tukang cucinya beberapa bulan sebelum pernikahan mereka. Rizal, temanku sejak kecillah yang mengatakannya. Katanya dia adalah Provost Polres Bireuen.

Di lengan pemuda yang sedang kusalami ini berikat rapi karet warna biru tua bertuliskan PROV.  Saat ini sadarlah aku bahwa dimatanya cintaku yang agung tak ada apa-apa dibandingkan pistol yang disangkutkan di dalam sarung pada pinggangnya. Aku tahu bahwa seragamnya sanggup membunuh sejuta cinta yang lebih indah dari bulan purnama. Aku tidak keliru ketika memikirkan bahwa gajinya yang dua juta rupiah sebulan sanggup merobohkan istana cinta yang telah kubina di dalam rasa.

Dia senyum sedetik setelah tangan kami saling melepaskan. Oh betapa kesenangannya mendapatkan cintaku tidak ada apa-apanya dibandingkan penderitaanku. Aku tersiksa. Menahan cinta begitu sakit, sakit sekali. Apa lagi ini akan terus-mererus kualami sampai mati. Aku tidak sanggup, aku tak tahan.

Kali ini aku baru sadar kenapa seua orang mati-matian berjuang untuk mendapatkan cinta pertamanya yang merupakan cinta sejati. Kini kusadira bahwa mereka rela mati karena tahu tidak akan sanggup menghabiskan sisa hidup dalam penderitaan karena memelihara rindu yang luar biasa, mereka tak mampu menahan cinta.

Zaman dahulu orang harus menerima bahwa tenda biru adalah akhir segalanya. Kini masa telah berubah, ada secercah harapan untuk mengobati hati yang hancur, jiwa yang remuk-redam. Di tv artis suka bercerai. Penyakit ini mewabah pada masyrakat awam. Setdaknya penyakit mereka bisa menjadi penawar bagi rasa rindu yang benar-benar telah menjerat diriku. Mudah-mudahan saja ini segera menggejala pada keluarga mereka dan rumah tangga mereka segera bubar.

Meskipun dia awalnya akan menolak kawin lagi dengan alasan ingin fokus merawat-anak anaknya, aku akan berusaha meyakinkannya akan mencintai anak-anaknya sebagaimana anakku sendiri. Besar keyakinanku dia dapat mempercayainya. Aku tidak masalah walaupun dia telah tua dan renta, meski wajahnya telah keriput. Setidaknya untuk sejenak menjelang detik-detik kematian, aku dapat merasakan detak jantung yang ada dalam dada tua itu.

Ketika kusadari betapa kecilnya kemungkinan itu, aku kembali berduka. Hampir tidak ada celah untuk kemungkinan peceraian pada keluarga mapan dengan jaminan gaji dua juta rupiah setiap bulan. Lagi pula hampir tidak ada pegawai negeri yang bercerai. menemukan kenyataan itu membuatku kembali menguburkan harapan. Dengan sangat tersiksa kembali aku harus hidup dalam kesengsaraan.

Karena itu aku sering mengharapkan kematian segera datang agar hilang semua derita. Karena tak dapat menjamin kerinduan akan hilang kalaupun aku telah tidur sendiri di dalam kubur, aku jadi tidak menaruh harapan akan segeranya kematian. Bila menduga bahkan di alam barzakh kerinduan malah menjadi semakin besar, aku mulai takut dengan kata-kata kematian. Allah, kasihanilah aku: Sakit di jantung, hangus di dalam dada; Batapa menderitanya hamba.

Na nyawoeng lon lam dada gata. Nyan nyang hana gata teupeu, hai Adoe. Ada nyawa saya dalam dadamu, itu yang tak kau tau, duhai Dinda. Ketika kau membalas sepucuk surat dariku. Surat itu memang kusadari redaksi permintaanku yang memaksamu menuliskannya. Di sana kau katakan "Jangan menangis karena cinta, menangislah karena Allah".

Kalau nantinya aku menjadi orang gila--meski belakangan telah banyak orang menyebutku gila--maka itu semata-mata karena patah hatiku. Alasan lainnya sebagai pendukung mungkin karena gilanya diriku mempelajari semantik dan filsafat.
***

Raihan, sampai matipun aku tak akan bisa melupakan saat pertama aku melihat wajahmu. Di mana? Tepat di bawah gapura meunasah desa Seuneubok Aceh. Hari itu hari selasa, waktunya jam tiga sore. Cuacanya saat itu terik sangat, matahari menyengat kulit dan ubun-ubun. Saking panasnya sapi malas merumput. Begitu panasnya, itik enggan menyingkir dari waduk. Meski begitu, Raihanku, detik pertama aku melihat wajahmu yang tak akan bisa kulupakan meski aku telah masuk ke dalam kubur, meski dunia ini telah diganti dunia lain. Pandangan, rasa dan semua kesadaranku menempatkanku pada alam yang teduh, pohon yang rindang, rerumputan yang hijau, udara yang sejuk. Detik pertama itu.

Kuingat bajumu garis-garis putih-merah. Baju kurung. Sepedamu bewarna cokelat kau lesatkan melintasi gapura. Ketika itu kau tak sadar sejak saat itu ruhku mulai mengikutimu sampai dunia kiamat. Kuduga kau datang dari surga, kukira kau lari dari istana sana karena lari sebab tak ingin lagi dilayani para bidadari yang membosankan itu. Sejak saat itu, duhai segalaku... tak ada kata-kata dari literatur manapun, baik yang telah usang maupun yang masih ada dalam rahim benak para pujangga yang bisa kupinjam untuk melambangkan rasaku padamu. Aku gembira bersama siksa. Berat terasa olehku cinta ini. Tapi aku, kesadaran terdalamku, telah telah bersumpah untuk menambatkan hati pada kamu saja, selamanya meski senantiasa dalam duka.

Di surga nanti, aku tak ingin menjadi raja atau pangerannya para bidadari, aku ingin menjadi hamba dan budakmu saja. Kekal abadi mengelap tapak kakimu, duhai bahagia tak terkira. Siang malam aku memikirkanmu, pagi dan petang aku merindui. Tak layakkah itu sebagai imbalan?

Allah...
»»  READMORE...