Rabu, 21 September 2011

Utuh, Telah Di Hati

Malam ini gerimis. Aku keluar membeli susu kental manis, sesaset.Rencana kuseduh panas. Setidaknya menghilangkan dingin

            Setiba di warung kubeli sesaset. Seribu dua ratus rupiah harganya. Setelah membelakangi warung, terfikir olehku: bagaimana kalau malam ini akan seperti malam-malam lain, susah tidur. Terlintas di pikiran membeli sesaset lagi
Hati berbisik: nafsu bila diturutkan takkan ada kata "cukup". Akan bisikan pikiran, aku mengurungkan. Melintasi jalan, tiba-tiba sebuah motor matic bewarna putih menerkam ke arahku. Aku terkena, tapi tak sampai jatuh. Motor terjungkal tak beraturan. Ternyata satu laki-laki, satu perempuan ikut terpelanting.
Ini gara-gara kamu. Kau memang menyebalkan." kata pemuda setelah bangkit dari badan jalan. Gadis yang dimarahi terlihat tak berdaya. Setelah ikut bangun, wajahnya pasrah. Dari lampu jalan terlihat raut muka sedih dan tertekan.
"Maafkan, Kang." kata gadis itu sangat lembut padaku, menyadari teman laki-lakinya yang bersalah.
Aku tak sempat membalas dengan: "Tidak apa-apa, lupakan saja" atau; "Sudah, lupakan saja, kamu sendiri, tidak apa-apa?"
"Ya sudah! Kita putus. Kau pulang sama dia aja." pria itu meraih stang motornya dan tancap gas. Anehnya, gadis itu tidak peduli mantan pacarnya pergi meninggalkannya. Dia kembali menanyakan keadaanku.
"Bener, Akang tidak apa-apa?"
Ini aneh. Kenapa pula dia yang menanyakan keadaanku. Bukankah bahkan aku hanya sedikit tersenggol ban depan motor itu tadi dan bahkan tidak sampai terjatuh. Sementara dia sendiri yang terpelanting ke atas aspal sama-sekali tidak mengeluh dan malah memenanyakan keadaanku.
Mungkin dia mengharapkan aku balik menanyakan keaadaannya. Tidak, mungkin bukan itu yang dia harapkan, pikirku.
"Tolong hantarkan aku sampai rumahku. Ke perumahan itu" dia menunjukke arah utara.
Aku ingat, kurang-lebih tiga ratus meter ke arah utara ada sebuah perumahan mewah.
Mengingat aku harus segera kembali ke lokasi training, sebenarnya aku agak kesulitan mengantarkannya. Namun, melihat dia terlalu peduli padaku, mengingat gadis baru saja putus cinta dan menimbang tidak aman perempuan berjalan sendirian, apa lagi waktu malam (walaupun berjalan berdua dengan laki-laki bukan muhrim jauh lebih 'tidak aman' lagi), kuputuskan mengantarnya.
Sampai di tengah perjalanan kami masih saling bungkam. Sampai dia bertanya:
"Kenapa diam saja?"
"Kalau tidak diam, tidak ada puisi" jawaban itu spontan keluar dari mulutku. Bahkan aku sendiri tidak menyadarinya.
"Kamu seorang penyair?" tanyanya kagum
"Ah, tidak. Bukan. Tadi salah jawab" aku menghindar
"Aku suka kamu. Maksudnya, aku suka penyair" katanya
"Tidak, aku bukan penyair."
Tak terasa kami telah berada di depan rumahnya. Rumah itu lumayan indah. Ada taman kecil di halaman. Garasi terbuka, mataku menangkap mobil C-RV keluaran terbaru di dalamnya.
"Mari masuk dulu" dia menawarkan.
Ah, tidak. Terimakasih" aku teringat training "mungkin lain kali saja"
"Secangkir teh panas sangat indah di malam yang dingin begini" bujuknya.
"Mungkin segelas susu hangat sangat segar besok sore" aku menawarkan
"Baiklah. segelas susu menunggumu besok sore di sini" sambil dia menghadapkan wajahnya ke arah teras rumahnya.
Di sana kutemukan sepasang kursi mungil bewarna ungu bermotif putih dan di antaranya sebuah meja imut bewarna yang sama. Aku mengharapkan sore besok adalah sore paling indah seumur hidup. Aku membayangkan kamu duduk di sama, mengobrol, berbagi cerita, bercanda dan tertawa bersama.
Aku sempat mengucapkan selamat istirahat dan berpesan padanya untuk jangan terlalu khawatir akan keseriusan kata-kata pacarnya itu, sebelum pamit kembali ke lokasi training.
"Mungkin dia sedang emosi. Jangan khawatir. Besok dia akan menelfon dan minta maaf."
Terlihat dia tidak nyaman dengan kata-kataku itu.
"Aku sudah melupakannya sebelum itu terjadi" jawabnya teduh.
 Aku memelihat dia bersedih. Aku ingin menghibur. Tapi bagaimana caranya?
"Cintamu utuh milikmu. Dia utuh di hatimu. Sampai kapanpun begitu. Engkau berhak menitipkannya ke hati siapa saja dan mengambilnya kembali kapan kau mau. Bukan begitu?" aku mengharapkan senyumannya.
"Sebelumnya memang begitu. Tapi setelah melihat wajahmu tadi saat engkau menyeberang jalan, cintaku telah kesitu. Dia menunjuki dadaku." kulihat dia berubah ceria sedikit.
Tapi ini mustahil. Mungkin dia merayu saja. Mana mungkin cinta semudah itu muncul, diberikan secara utuh dan tak dapat diambil kembali. Melihat aku kebingungan, dia berkata:
"Kau tau cinta itu datang pada pandangan pertama? Tahukah engkau bila dia tidak hadir pada kali itu, takkan pernah ada selamanya? Tegakah engkau pergi begitu saja setelah cinta di dalam hatiku yang utuh kini utuh di dalam hatimu. Bila kau jauh dariku sadarkah engkau seseorang yang cintanya utuh telah berada di dalam hatimu, kau biarkan begitu saja? Tegakah hatimu?" kta-kat ini membuat semakin bingung.
"Sekarang pulanglah. Aku dan secangkir susu menunggumu di sini besok jam empat sore." dia menangis lirih.
Kian detik-kian lirih. Ini mengusik dadaku, bahkan nyaris menyayat hati.
 "Hati yang di dalamnya ada cinta dia yang utuh." bunyi batinku.
Bercucur air mata, sambil terbata-bata dia berkata:
"Kembalilah besok sore."
Aku mengangguk, mencoba menenangkannya. Aku memberanikan diri mengusap rambunya yang panjang terurai lurus. Gerimis berubah hujan. Dia mencoba menyeka airmatnya dari pipinya. Aku memperhatikan wajahnya. Ternyata baru kusadari dia begitu cantik. Lampu taman dan beranda rumahnya memperlihatkan bahwa kulitnya kuning langsat.
Perlahan aku menjauh. Jari-jari tangannya mencoba meraih jari-jari tanganku. Akupun berlalu. Setelah beberapa langkang membelangkanginya, dia memanggilku.
"Hei, boleh kutahu namamu..." aku berbalik dan tersenyum.
"Baiklah, besok sore saja" sambungnya sambil mencoba tersenyum dan melambaikan tangan.
Keesokan harinya agenda berubah. Kami harus kembali ke Mentra siang ini juga!
Dia menungguku sejak sore hingga keesokan paginya. Selama itu dia nyaris tidak bergerak, hanya sesekali mengusap pipinya yang terus mencucurkan air mata dan sesekali pula dengan belakang telapak tanngannya mengusap ujung batang hidungnya yang mancung. Matanya selalu menatap kosong dan jarang sekali berkedip.
Menjelang pagi dia terkulai di atas salah satu kursi mungil bewarna ungu bermotif putih dan susu di dalam gelas sudah menunjukkan aroma tak sedap masih tergeletak di atas meja imut bewarna yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar