Rabu, 21 September 2011

Seribu Pancaran Sinar Mentari

Kawan, seharusnya tidak sekarang aku menceritakannya padamu. Ceritaku layaknya kusampaikan saat aku telah berada di Teheran atau Muenchen, saat aku menjadi salah seorang Profesor di sana. Tapi bagaimana kalau cinta lama merangkulku lalu membawaku pergi? Konon, kudengar dia telah berubah menjadi monster mirip Orge dalam game "Tekken".

Ceritaku bermula saat keranjang hijau telah kosong dan hanya menyisakan beberapa plastik keresek dan seikat lidi bambu. Setelah kukayuh sepedaku menjauhi Sambu, tempat di mana sore itu bungkus terakhir mie Aceh yang kujual seribu rupiah perbungkus disapa perut yang sedang lapar, aku telah membelakangi billboard besar tempat di mana iklan rokok "Kennedy" bertengger. Iklan itu telah senyum manis di persimpangan jalan dekat Medan Mall sejak enam tahun lalu saat usiaku masih sebelas tahun. Tiba-tiba aku berhenti dan menoleh ke arah spanduk besar itu. Bulu kudukku berdiri. Terdengan bisikan "Miswari, kamu akan kuliah."

Kuliah? Saat itu kuliah adalah mustahil bagiku. Aku nyaman dengan realitas yang sedang kujalani. Kuliah adalah hal mustahil. Setiap pulang sekolah aku bergegas ke sebuah rumah milik orang Tangse yang telah lama tinggal di Medan. Salahsatu kamarnya disewakan padaku. Seratus ribu rupian per-bulan. Sesampai di rumah aku langsung mandi, shalat dzuhur dan berlari ke rumah Mak Boi. Di sana Mak Boi memberikanku makan siang dan malam, dua kali sehari, hanya dengan membayar seratus ribu rupiah per-bulan. Harga itu memang tidak pantas. Tapi aku tahu dia mau membantuku. 
Selasai makan aku buru-buru ke rumah Kak Syah. Di rumah beralaskan tanah itu telah bersedia sebuah sepeda yang lusuh. Di sandelnya telah terisi penuh bungkusan-bungkusan mie. Aku meraih sepada itu. Setiap hendak mengayuh untuk pertama kali aku selalu membaca Al-Fatihah. Selalu. Tidak pernah tinggal sepanjang dua tahun kerjaku menjual mie Aceh seribu! Meski saat itu otakku belum mengantongi konsep tentang kekuatan sebuah surat terdiri tujuh ayat itu, aku yakin Al-Fatihh punya kekuatan melebihi langit dan bumi. Apalagi untuk menghabiskan dagangan sekeranjang mie, pikirku dulu.
Pekerjaan itu kulakukan sejak kelas dua hingga kelas tiga STM. Kelas satu aku masih tinggal di rumah salah seorang familiku. Pulang sekolah aku membantu mereka mengolah sirip hiu hingga menjadi salah satu dari bagian santapan lezat di restoran-restoran kelas atas.
Bisikan tadi itu membuatku tercengang dan kembali membuatku melihat kembali kondisiku. "Kuliah? Mustahil!" gumamku. Diam-diam hati kecilku menyumpan keinginan yang maha besar untuk kuliah. Tapi keinginan itu tidak boleh membuatku tidak rasional. Bisikan-bisikan seperti itu adalah bisikan tentang masa depanku yang tak bisa kubantah, apalagi kuhindari. Persis seperti bisikan saat aku di Masjid Muhammadiyah setelah lulus S1. Waktu itu bisikan itu mengatakan aku akan ke Jakarta.
Karena kutahu bisikan itu adalah sesuatu yang tak bisa kulawan. Aku memilih mempersiapkan segala sesuatu tentang bisikan itu.
Tiga bulan lagi Ujian Nasional. Aku sadar tidak seperti kawan-kawan yang bisa mempersiapkan ujian dengan mengikuti bimbingan belajar di lembaga-lembaga elit seperti Ganesha Operation Atau Primagama, makanya aku berfikir cara lain untuk mempersiapkan diriku.
Malam itu aku mengatakan pada Kak Syah bahwa aku hanya akan bekerja dua bulan lagi. Ini kuberitahukan agar dia bisa mempersipkan diri. Aku, akan mengumpulkan uang sebisa mungkin untuk sebulan menjelang UN karena saat itu aku akan berfokus pada belajar serta mengikutu les tambahan oleh pihak sekolah.
            Caraku agar lulus UN adalah dengan membeli sebuah buku tentang penduan mengikuti UJIAN NASIONAL 2004. Aku mengawali dengan mempelajari soal UN dari tahun paling rendah. Strateginya adalah dengan mengisi jawaban atas petanyaan-pertanyaan itu dalam selembar kertas lembar jawaban fotokopian dari contoh lembar jawaban yang dilampirkan pada halaman buku itu. Salahsatu manfaat cara seperti itu adalah belajar mengasah kebiasaan melingkarkan jawaban agar tidak lepas dari bacaan komputer saat pemeriksaan lembar jawaban sesungguhnya nanti.
Setelah mengisi lembar jawaban itu, aku memeriksanya dengan berpanduan pada lembaran kunci jawaban yang telah disediakan dalam buku. Aku mempersentasekan jawaban yang benar denga nilai yang kuperolah. Saat itu standar kelulusan 4.01 per mata pelajaran yang di UN-kan. Selanjutnya membaca sepintas lalu jawaban yang benar. Pada jawaban yang salah aku benar-benar mempelajarinya hingga aku paham betul. Demikian setiap mata pelajaran yang di UN-kan hingga sampai pada prediksi soal UN 2004.
Setiap mengerjakan mata pelajaran dari tahun terendah dalam buku hingga 2003, nilaiku terus naik. Pada prediksi mata pelajaran 2004 aku memperoleh: Matematika lima koma sekian; Bahasa Inggris enam koma sekian dan: Bahasa Indonesia enam koma sekian.
Seminggu sebelum UN berlangsung, aku telah bersiap menghadapi ujian. Waktu seminggu itu kumanfaatkan untuk menyegarkan ingatan tentang soal-soal itu.
Seminggu menjelang UN aku harus pindah dari kos. Dua dua hari aku terpaksa tidur di gudang perabotan milik orang Aceh. Sebelumnya aku telah akrab dengan pemilik dan pekerjanya karena mereka telah lama menjadi pelanggan mie Aceh jualanku.
Tiga hari menjelang ujian, Agam menerimaku tinggal di tempat usahanya. Syaratnya aku harus membantunya berjualan minyak, koran dan majalah. Aku senang. Itu lebih baik daripada menghadapi hari-hari penting dalam hidup tanpa tempat tinggal yang jelas.
            Hari pertama ujian aku menyelasaikan soal-soal ujian Bahasa Indonesia dengan mudah. Malam harinya, drama dimulai. 
Setelah mengulang sepintas lalu prediksi soal-soal Matematika UN 2004, aku beranjak tidur. Ayat-ayat pendek kubacakan penuh harapan dan kecamasan. Besok ujian Metematika dan dan Agama Islam. Jadi aku harus konsenterasi betul. Matematika begitu mendebarkan. Agama Islam? Ah, tak masuk dalam hitunganku. Tidak di UN-kan! Saat hendak memejamkan mata, begitu saja masuk sekelompok pemuda berpakaian preman menggeledah seisi ruangan tempat usaha Agam. Aku memang tidak pernah mengunci pintu sebab Agam menyuruhnya begitu. Dia datang bila-bila waktu ke toko. 
Pemuda-pemuda itu membuka payung yang tersangkut di dinding dan mencari sesuatu di dalam sepatu sekolahku dengan mengangkat kaus kaki di dalamnya. Mereka juga menggeledah tempat-tempat lain yang mereka suka. Saat itu aku belum curiga siapa mereka meski cara menggeladahnya mengesankan sekali.
            "Mana si Agam." Tanya seorang pria agak gemuk, gondrong dan muka seram.
"Keluar, Bang. Mungkin di rumahnya." jawabku kecut.
"Di rumah tak ada" sahut yang lainnya.
"Mana kau simpan barangnya" tanya si gondrong tadi.
Aku diam tak bisa menjawab apapun lagi. Di tengah-tengah kesibukan mereka menggeledah, di dalam otakku terlintas pikiran: Mungkin mereka adalah orang yang akan menyita barang-barang tertentu dalam toko Agam karena dia tidak mampu membayar utang.
Saat aku telah duduk dibarisan kedua sebuah minibus terlintas kesan dalam ingatanku: Bukankah kondisi seperti ini adalah orang yang sedang di gelandang Intel Polisi ke Tempat interogasi seperti yang sering kutonton dalam program "Patroli" di Indosiar. Kesan itu menghilang begitu saja.
Aku telah berada di sebuah ruangan dalam kantor Polisi. Karenaa dari pertama saat di naikkan ke dalam moli aku membaca rute tujuan. Aku sadar betul telah berada di Poltabes Medan. Bahkan aku sering melawatkan sore seputaran Markas ini berjualan Mie Aceh dengan sepeda butut itu.
Beberapa saat kemudian aku dibawa keruangan lain. Di sana Agam telah duduk manis. Dia menjawab lugu dan singkat pertanyaan-pertanyaan pemuda yang duduk di balik meja menghadap sebuah komputer di atas meja hitam di depan kami. Aku melihat asbak di depan penginterogasi telah sangat sesak oleh abu rokok dan puting "Sampoerna Mild".
Pikiranku terfokus pada kedua orang tuaku. Aku membayangkan bila aku dijebloskan ke dalam sel yang berada sekitar sepuluh meter di sebelah kananku, bagaimana aku bisa memberitahukan orang tuaku bahwa aku telah dipenjara. Dipenjara karena tidak ada satupun Undang-undang yang dibuat Tiran-tiran di "rumah mewah" itu kulanggar. Aku sangat khawatir orang tuaku akan khawatir karena kehilangan diriku, khawatir mereka takkan tau aku ke mana. Kasihan pada kedua manusia yang paling kucintai setelah Nabi Besar Saw. Mereka telah berharap anak-laki laki mereka akan segera menamatkan sekolahnya di rantau. Namun ternyata telah masuk penjara tanpa mereka tau. 
Satu momen paling penting yang membuyarkan lamunanku terjadi:
 Penginterogasi: Dia ikut, enggak?
Agam : Sama seka tidak, Bang.
Penginterogasi: Jadi cuma kau sendiri yang makai?
Agam : Bener, Bang
Penginterogasi: Jadi benar dia tidak terlibat?
Agam : Iya, Bang.
Penginterogasi: Betul, kau!?
Agam : Sama sekali tidak, Bang!
Penginterogasi: Hah? (Setengah berdiri mencondongkan muka ke arah Agam. Melotot tajam) 
Agam : Ya, Bang. Dia enggak.
            Detik itu pula langsung terfikir olehku: Kalau saja Agam ingin berbuat buruk padaku. Mudah saja dia melakukan ini:
Penginterogasi: Dia ikut, enggak?
Agam : Iya, Bang.
Penginterogasi: Jadi dia ikut juga?
Agam : Benar sekali, Bang.
Penginterogasi: Jadi benar dia terlibat juga?
Agam : Iya, Bang.
Penginterogasi: Betul, kau?
Agam : Benar, Bang! Sebenar setelah "Q", "R"
Penginterogasi: Hah? (Setengah berdiri mencondongkan muka ke arah Agam sambil tersenyum lebar. Melotot dengan memperlihatkan kedua bola mata dengan beningnya)
            Kenapa orang yang jauh lebih muda darinya tetap dipanggil "Bang" oleh Agam? Bukankah pengintrogasi yang sangat tampan, berkulit kuning langsat itu jauh lebih pantas menjadi foto model atau bintang iklan jus buah manis bersama gadis-gadis remaja yang cantik-cantik dan centil-centil daripada berprofesi sebagai orang yang kejam, tegas, dibenci semua orang yang pernah duduk di balik mejanya dan didoakan semoga ibunya mati dengan cara terpotong-potong badannya karena ditabrak kereta api dan istrinya dimutilasi setelah diperkosa ramai-ramai dan kemaluannya ditusuk-tusuk besi panas menyala oleh semua orang yang pernah merasakan panas monitor komputer di atas mejanya yang menerpa wajah mereka? 
            Aku tidak sempat memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat tidak perlu kucari jawabannya dalam kepalaku. Aku tak punya ruang dalam kepalaku untuk memikirkan jawaban-jawaban itu. Otakku penuh dengan kesenangan: Pria tampan anak Teuku Banta Sulaiman tidak perlu panik dan pusing mencari anaknya yang hilang di Medan dan perempuan paling cantik dan paling tajir di Peusangan era 80-an tak perlu gelisah menanti keberadaan dan keadaan anaknya yang paling bandel itu.

Selanjutnya aku dibawa kembali ke ruangan tadi. Aku kembali duduk lemas di atas sofa empuk bewarna hitam itu. Aku sangat mengantuk, sangat lemas. Lebih dari itu mentalku down betul. Sembari tertidur dan terjaga, di sela-sela keduanya, dalam tertidur dan ter bangun, pikiranku tertuju pada satu kata: MATEMATIKA. Sambil itu, hatiku bergumam penuh kekhusyu'-an: Ya Allah, Allah Rabbnya alam semesta, Junjungan Rasulku yang mulia, Sesembahan ibu dan ayahku serta tempat bergantung dan menyerahkan diri kakek-kakek dan buyut-buyutku sepanjang masa: Bila kau tak izinkan hambamu yang semasekali sedang tak bedaya di depan-manusia manusia ini, benar-benar hina di hadapan-Mu dan mereka, maka usahlah Kau kirimkan cinta padaku lagi sampai kapanpun. Aku mencintaimu dalam senang dan susahku, dalam mudah dan pedihku, dalam senyum dan tawa dan dalam murung dan muramku. Aku mencintaimu melebihi cinta seorang ibu rumahtangga akan rumah suaminya. Ya Allah, aku menyayangimu melebihi sayangnya seekor puddle akan bulu-bulu indah yang membuatnya hidup dan menjadi alat kebanggaannya: Maka perkenankan harapanku wahai Yang Maha Suci. Doa itu terus saja mengalir dalam hatiku, kadang tidak beraturan. 
            Lalu tiba-tiba masuk salah seorang polisi yang samar-samar terlihat di mataku. Dia menghampiriku dan bertanya. "Jadi kau anggota (a)Gam?" 
"Ya, Bang." jawabku lemas, sangat lemasnya aku hingga suaranyapun samar-samar terdengar olehku.
            DUUUUP DUUUUUP DUUUP
            Tiga tendangan PDL di kakinya yang dibuat dari uang petani pinang yang hasil kebunnya itu dihargai seribu limaratus rupiah namun dijual tigapuluh dua ribu rupiah untuk setiap satu kilogram.
Tendangan itu membuatku tersungkur ke lantai. Aku tak bisa bernafas. Kupikir malaikat segera datang dengan sebuah karung beras 50kg dan pulang dengan karung yang telah berisi nyawaku di dalamnya. Aku benar-benar sangat kesakitan. Sampai saat ini, kesakitan yang paling payah yang kurasakan adalah malam selasa itu. 
Aku hanya mengingat Allah, kekasih yang setahuku saat itu adalah yang paling mencintaiku. "KataMu yang paling mencintaiku adalah Kau. Tegakah kau melihat yang Kau cintai ini tersiksa sangat parah seperti yang sedang kurasakan saat ini? Apa yang akan Kau lakukan padaku?" pikirku dalam benakku.
 "Matematika"
"Sepatu" 
"Matematika"
"Sepatu" 
"Matematika"
"Sepatu" 
"Allah"
"Ayah-ibuku"
            Kata-kata itu datang secara berurutan dan berulang-ulang kedalam kesadaran pkiranku. Kukira kalau aku mati saat itu, maka Matematika, sepatu, Allah dan ayah-ibuku adalah hal-hal yang paling mengsankanku sepanjang hidup di surga.
Samar-samar aku mendengar polisi-polisi lain menegur si penendangku itu.
"Kok, kau hajar pulak dia?"
"Separatis, katanya dia"
"Bukan, Coy. Anak buahnya si Agam itu"
"Ooo"
            Aku baru tau, maksud pertanyaannya. Mungkin, adalah untuk sekedar bercanda dengan menanyakan apakah aku anggota atau terlibat dengan gerakan pemberontakan di Aceh saat itu, GAM. Pertanyaan semacam ini sering ditanyakan pada orang Aceh untuk sekedar bercanda atau menggoda.
            Aku menjawab "ya" karena kukira maksudnya adalah bertanya apakah aku orang yang bekerja pada Agam, pemuda yang sedang diinterogasi di ruang lain. Di Medan, biasanya, orang-orang yang "bekerja pada" disebut "anggotanya". 
Melihatku terkapar tidak berdaya sama-sekali si penendang itu hanya memandangi tubuhku yang sedang memiting-miting persis seekor cacing yang sedang dijemur di atas piring melamin di bawah sinar matahari yang sangat terik. Hanya sedikit air muka mengiba sudah cukup bagiku seorang polisi meminta maaf atas sebuah kekeliruan yang hampir saja membuat nyawaku melayang. Untuk berkata "Maaf" atau "Sori Coy" dia enggan. Dia sadar seragamnya lebih berharga dari kata-kata konyol itu. Akupun sadar akan betapa berharganya seorang personil Polisi. Setidaknya berdasarkan pengetahuanku bahwa meski mereka adalah penegak hukum, bila ada seorang anggota mereka mati ditangan seorang warga, maka si pembunuh personil Polisi itu akan mati tanpa perlu menempuh jalur hukum formal manapun. Sebuah penegakan hukum yang begitu tegak dari Penegak Hukum.
            Beberapa anggota polisi yang sedang barada di hadapanku mulai membicarakan tentangku, lebih tepatnya tentang nasibku. Mereka telah mengetahui bahwa aku pelajar. Mereka juga tau aku sedang UN. Kupastika mereka tau aku harus ujian Matematika. 
            Jam enam pagi aku dibolehkan pulang.
"Tau nya kau jalan pulang?" tanya salah seorang personil Polisi. 
"Tau, Bang" Spontan.
            Aku girang meski mata mengantuk sangat, otot-otot lelah betul dan badan remuk-radam. 
Aku pulang jalan kaki dari Poltabes ke Tuasan, Pasar Tiga. Sempat terfikir olehku kalau saja tadi kujawab aku tidak tau jalan pulang, mungkin mereka akan mengantarku pulang denga mobil. Tapi aku ragu kalau kujawab begitu, aku tak jadi dikasih pulang pula. Teringat akan sel tahanan. Aku tidak jadi menyesali jawabanku tadi. Dalam perjalanan tak henti-hentinya aku mengucap syukur. 
            Jangan tanya bagaimana: Lima belas menit aku tiba di Tuasan. Sebelum sampai di toko saudara-saudara si Agam melempariku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi Agam di Poltabes. Mereka bertanya dengan sangat serius. Kupastikan beberapa di antara mereka sama denganku tidak tidur semalaman. Karena gelisah tentang kondisi Agam.
Shalat subuh antara sadar dan tidak. Melihat tempat tidur ngantukku semakin menjadi-jadi. Aku menghempaskan badan ke tilam. Berfikir kalau saja momen sembilan jam dari sekarang tidak pernah terjadi. Sembilan jam yang lalu aku masih berada disini, di atas tilam ini hendak tidur.
"Matematika!" Terlintas dalam pikiranku akan kata itu.Tiba-tiba aku teringat kalau saja aku memejamkan mata, aku takkan ke sekolah. Hari ini ujian mata pelajaran yang sangat menentukan hidupku. Aku bergegas mandi. Lalu segera berangkat ke sekolah meski terlalu pagi. Ini lebih baik bila tetap dekat dengan tempat tidur. 
Aku sempat tertidur ayam dua tiga kali di dalam angkutan umum. Setiba di sekolah orang-orang sudah ramai. Ditangan mereka semua sedang memegang apasaja yang dapat membantu mereka menjawab soal-soal Matematika yang akan diujikan sesaat lagi. Aku masih sibuk dengan perutku yang sangat sakit akibat ditendang polisi tadi malam. Pengalamanku tadi malam begitu mengesankan. Seolah-olah hanya mimpi belaka. Hanya rasa sakit di perut dan serangan kantuk yang membabi-buta yang dapat membuatku sadar bahwa peristiwa tadi malam bukan mimpi. 
Kalau hal ini kuceritakan pada teman-temanku, pasti tak ada yang percaya, bukan karena mereka terlalu sibuk dengan beban Matematika, namun karena apa yang kualami tadimalam sangat luar biasa.
Bel dibunyikan. Pengumuman-pengumuman yang di suarakan melalui pengeras suara tidak ada satupun kudengar dan kupahami. Aku ikut berbaris di antara yang berbaris di lapangan upacara untuk mendengar arahan kepala sekolah setiap pagi selama UN. Aku tak mendengar sepatah katapun. Aku sibuk dengan perutku dan terlalu besar kantuk menyelimutiku.
            Masuk keruangan aku mencoba membuang kantuk. Gagal. Aku tersungkur, tertidur di depan lembaran soal dan jawaban Matematika. Aku mecoba sadar dari tidur. Tertidur sejenak saat ujian berlangsung aku bermimpi sedang mengerjakan soal-soal Matematika. Lalu dalam mimpi itu aku jatuh ke bawah meja akibat kursiku patah. Aku tersentak dan terbangun. Saat sadar ternyata benar aku terjatuh ke bawah meja. Ternyata saat mengantuk tadi aku kehilangan keseimbangan dan punggungku merosot dari kursi dan aku terjatuh kedepan kursi, ke bawah meja. Pengawas mengamati. Peserta ujian lain ingin tertawa tapi tidak berani. Masa depan mereka lebih penting daripada menertawakan sesuatu yang sangat layak untuk ditertawakan. Kalaupun mereka tertawa sangat wajar. Namun cita-cita yang tinggi membuat mereka harus mengenyampingkan kewajaran-kewajara.
Aku masih berjuang melawan kantuk. Bahkan sakit perut telah menyerah dari rasa kantuk yang sangat besar. Aku terus berjuang. 
            Pertanyaan pertama coba kubaca. Gagal. Aku kehilangan fokus. Mengantuk ini sangat dalam dan tinggi besar. Aku tidak tidur semalaman. Jadi aku mengantuk. Itu wajar. Namun karena bisikan yang telah kusampaikan padamu itu, kawan, membuatku yakin bahwa cita-citaku besar. Karena cita-citaku besar, maka aku harus melampaui batas-batas kewajaran.
Waktu tersisa tinggal empat puluh menit lagi. Sementara lembar jawabanku belum terlingkar satupun. Cita-cita besar itu membuatku kuat melawan kantuk dan lelah. Mataku melototi soal-soal ujian sementara aku terus mencoba memfokuskan pikiran. Fokus. Aku membaca satu soal lalu menghitung dan membuat rumus untuk mencari jawaban yang tepat. Demikian terus menerus hingga pertanyaan terakhir. 
Dua puluh pertanyaan berhasil kujawab dalam waktu empat puluh menit. Aku bekerja keras.Bekerja keras melawan batas-batas kewajaran demi masadepan yang lebih baik. Dan saat inilah penentuannya. 
Aku masih ragu, Matematika adalah pelajaran yang amat sulit dan mengerjakannya dalam kondisi sangat sulit. Aku sangat takut tidak lulus Matematika. Bila nilaiku empat koma nol atau lebih rendah darinya, aku takkan lulus. Tidak lulus adalah aib terbesar bagiku. 
            Sejak hari selesai ujian Mtematika, aku tidak penah berhenti berdoa pada Allah. Aku tak pernah meninggalkan shalat tahajjut.
            Tiba hari pengambilan surat pemberitahuan hasil UN, aku berpakaian sangat rapi. Doa dengan sangat tawadhu' dan khusyu' tak henti-hentinya kupanjatkan. Tiba di pekarangan sekolah aku menggigil. Aku paling khawatir dengan nilai Metematikaku. 
            Di depan sebuah kelas, Bapak Kepala Sekolah telah duduk manis menantikan kami. Aku dan kawan-kawan menghampiri. Pria gemuk berkulit sawo matang itu tersenyum pada kami. Aku tersenyum pula seperti bentuk bibir seseorang yang sedang dalam keadaan sangat payah di wc.
Tubuhku bergetar saat meraih sebuah amplop putih yang disodorkan Bapak Kepala Sekolah. Bapak Kepala Sekolah menyadari kondisiku, mengetahui apa yang sedang berkecambuk di dalam tempurung kepalaku. Dia tersenyum saja.
Saat telah memegang amplop putih itu di dalam pikiranku terlintas seribu refer:
"mie Aceh",
"Ibuku",
"sirip ikau hiu",
"Mahathir", "Kakak",
"Lidia",
"Sambu",
"Lapak Judi Jalan Tuasan",
"Sepatu",
"Majalah",
"bensin",
"koran"
            .Kondisiku berubah menjadi takut:
"Poltabes",
"Agam",
"Payung",
"kaus kaki yang di angkat dan melihat isi sepatu",
"sel tahanan di Poltabes",
"Pria yang paling tampan di seluruh dunia yang pernal kulihat sedang binging, panik dan khawatir mencariku di kota Medan".
            Yang paling membuat hatiku tak menentu ketika itu adalah saat wajah ayah sedang menjengukku di Pesantren dulu. Kukika lebih baik aku tidak pernah ada di muka bumi ini bila tidak lulus karena mengenang wajah ayahku. Ayah yang paling mencintai anaknya adalah ayahku. Ayah adalah seorang pria hidup pas-pasan namun menyekolahkan anaknya yang nakal ini ke Boarding School yang dihuni anak-anak pengusaha, pejabat kelas atas dan kontraktor. Aku tidak sanggup bila mengingat wajah ayah. Aku lebih baik tidak pernah ada di dunia ini bila tidak lulus.
            "Baca Bismillah..." Suaraku itu membuatku terkejut. Rupanya Ibu Guru Agama Islam-ku yang menegurku saat aku sedang mencoba menyobek amplop.
            "Tahukah Ibu Guru, bahwa telah tiga kali Al-Fatihah dan berpuluh-puluh surat pendek telah kubaca dalam hati sejak menerima amplop ini. Bismillah... pulak?" Tentu saja jawaban ini hanya kubunyukan dalam hati.
Aku membaca basmala dengan agak sedikit berbunyi untuk menghormati Ibu Guru yang manis berumur tiga lima namun belum kawin itu. Aku masih belum beranjak jauh dari meja Bapak Kepala Sekolah.
Kutemukan selembar kertas bewarna pulit dengan isi tulisan di bagian dalam lipatan seluruhnya. Seingatku itulah surat formal pertama yang kuterima seumur hidupku. Kubuka lipatan itu. Kubaca itu tertuju padaku: MISWARI. Kucari langsung inti daripada Isi surat. Kutemukan: "TIDAK LULUS" tercoret dan"LULUS" tak di coret. Artinya aku lulus UN!
            Kulihat nilai ketiga mata pelajaran yang di UN-kan itu: Bahasa Indonesia: 7.69; Bahasa Inggris: 6.89 dan; Metematika: 4.02. Subhanallah! Langsung terfikir olehku kalau satu lagi saja saja soalan Matematika itu terjawab salah, dapat kupastikan nilaiku di bawan empat. Dan, itu artinya aku tidak lulus UN! Tidak tidur semalaman dan terkena sepatu Polisi ditambah mendal yang jatuh terpuruk malam menjelang ujian Matematika membuatku yakin 4.02 untuk nilai Matematika adalah karamah dari Allah SWT.
            Meski cinta ayah tingginya tak terlampaui langit tidak ada apa-apanya dengan berhasil lulus STM, perjuangan mengolah sirip hiu dan bersepeda mengelilingi Kota Medan setiap hari pulang sekolah terjawab sudah. Poltabes dan sepatu PDL Polisi-pun lunas.
            Aku tersungkur melekatkan keningku ke tanah dekat teras ruang belajar. Mataku mengeluarkan airnya sebanyak-banyaknya. Aku tak peduli Bapak Kepala Sekolah, Tak peduli Ibu Guru Agama Islam. Aku tak peduli semua orang yang ada di sini. Aku tenggelam dalam haru. Ibu Guru Agama Islam ikut menitikkan air mata. Kutahu dia tau sedikit banyak perjuanganku di Medan. Bapak Kepala sekolah yang hampir setiap hari berada di belakang kami: artinya setiap hari kalah berlari dengan kami karena hampir setiap hari kami berhasul lolos dari kejarannya karena suka cabut sekolah; kami yang membuatnya malu sejadi-jadinya di hadapan kepala sekolah lain karena tingkah kami yang kurang ajarnya di atas rata-rata kurang ajar seluruh siswa se-Kota Medan, namun hari ini, kulihat mimik wajahnya, haru melihatku. Kubaca air mukanya. Kutemukan Kalimat-kalimat: Akan kukatakan pada dunia aku pernah punya siswa superhero sepertimu, Nak; Akan kuceritakan kebanggaanku bahwa aku punya siswa yang setiap harinya berjualan mie berkeliling dengan sepededa lusuh namun dia lulus UN.
            Kawan, saat itu UN adalah moster yang sangat berbahaya. Kalau tidak salah 70persen siswa seangkatanku tidak lulus. Bahkan, waktu itu, Kawan, ribuan peserta bimbingan belajar pada lembaga-lembaga bimbingan belajar ternama di Medan terpaksa kecewa. SMS semua jawaban yang benar dari guru untuk menghindari malu karena takut dianggap gagal mendidik siswa dan kerena mengharap uang receh dari kepala sekolah yang takut dipindah tugas, belum ada waktu itu.
Kepedihan yang datang bertubi-tubi dan hidup mulai terasa gelap gulita diganti seribu pancaran sinar mentari, a thausands splendid suns. 
            Bapak Kepala Sekolah menghampiri dan merangkulku. Kulihat matanya semakin memerah. Dekapannya membuatku teringat pada ayahku. Masih menitikkan air matanya, dari belakang datang Ibu Guru Agama Islam mengelus-elus pundakku. Air dari mataku belum mau berhenti mengalir. Perih perutku akibat PDL Polisi masih terasa menusuk-nusuk. 
Langit sangat cerah, seribu pancaran sinar mentari mulai menyengat. Semua pasang mata tertuju pada kami.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar