Rabu, 21 September 2011

Utuh, Telah Di Hati

Malam ini gerimis. Aku keluar membeli susu kental manis, sesaset.Rencana kuseduh panas. Setidaknya menghilangkan dingin

            Setiba di warung kubeli sesaset. Seribu dua ratus rupiah harganya. Setelah membelakangi warung, terfikir olehku: bagaimana kalau malam ini akan seperti malam-malam lain, susah tidur. Terlintas di pikiran membeli sesaset lagi
Hati berbisik: nafsu bila diturutkan takkan ada kata "cukup". Akan bisikan pikiran, aku mengurungkan. Melintasi jalan, tiba-tiba sebuah motor matic bewarna putih menerkam ke arahku. Aku terkena, tapi tak sampai jatuh. Motor terjungkal tak beraturan. Ternyata satu laki-laki, satu perempuan ikut terpelanting.
Ini gara-gara kamu. Kau memang menyebalkan." kata pemuda setelah bangkit dari badan jalan. Gadis yang dimarahi terlihat tak berdaya. Setelah ikut bangun, wajahnya pasrah. Dari lampu jalan terlihat raut muka sedih dan tertekan.
"Maafkan, Kang." kata gadis itu sangat lembut padaku, menyadari teman laki-lakinya yang bersalah.
Aku tak sempat membalas dengan: "Tidak apa-apa, lupakan saja" atau; "Sudah, lupakan saja, kamu sendiri, tidak apa-apa?"
"Ya sudah! Kita putus. Kau pulang sama dia aja." pria itu meraih stang motornya dan tancap gas. Anehnya, gadis itu tidak peduli mantan pacarnya pergi meninggalkannya. Dia kembali menanyakan keadaanku.
"Bener, Akang tidak apa-apa?"
Ini aneh. Kenapa pula dia yang menanyakan keadaanku. Bukankah bahkan aku hanya sedikit tersenggol ban depan motor itu tadi dan bahkan tidak sampai terjatuh. Sementara dia sendiri yang terpelanting ke atas aspal sama-sekali tidak mengeluh dan malah memenanyakan keadaanku.
Mungkin dia mengharapkan aku balik menanyakan keaadaannya. Tidak, mungkin bukan itu yang dia harapkan, pikirku.
"Tolong hantarkan aku sampai rumahku. Ke perumahan itu" dia menunjukke arah utara.
Aku ingat, kurang-lebih tiga ratus meter ke arah utara ada sebuah perumahan mewah.
Mengingat aku harus segera kembali ke lokasi training, sebenarnya aku agak kesulitan mengantarkannya. Namun, melihat dia terlalu peduli padaku, mengingat gadis baru saja putus cinta dan menimbang tidak aman perempuan berjalan sendirian, apa lagi waktu malam (walaupun berjalan berdua dengan laki-laki bukan muhrim jauh lebih 'tidak aman' lagi), kuputuskan mengantarnya.
Sampai di tengah perjalanan kami masih saling bungkam. Sampai dia bertanya:
"Kenapa diam saja?"
"Kalau tidak diam, tidak ada puisi" jawaban itu spontan keluar dari mulutku. Bahkan aku sendiri tidak menyadarinya.
"Kamu seorang penyair?" tanyanya kagum
"Ah, tidak. Bukan. Tadi salah jawab" aku menghindar
"Aku suka kamu. Maksudnya, aku suka penyair" katanya
"Tidak, aku bukan penyair."
Tak terasa kami telah berada di depan rumahnya. Rumah itu lumayan indah. Ada taman kecil di halaman. Garasi terbuka, mataku menangkap mobil C-RV keluaran terbaru di dalamnya.
"Mari masuk dulu" dia menawarkan.
Ah, tidak. Terimakasih" aku teringat training "mungkin lain kali saja"
"Secangkir teh panas sangat indah di malam yang dingin begini" bujuknya.
"Mungkin segelas susu hangat sangat segar besok sore" aku menawarkan
"Baiklah. segelas susu menunggumu besok sore di sini" sambil dia menghadapkan wajahnya ke arah teras rumahnya.
Di sana kutemukan sepasang kursi mungil bewarna ungu bermotif putih dan di antaranya sebuah meja imut bewarna yang sama. Aku mengharapkan sore besok adalah sore paling indah seumur hidup. Aku membayangkan kamu duduk di sama, mengobrol, berbagi cerita, bercanda dan tertawa bersama.
Aku sempat mengucapkan selamat istirahat dan berpesan padanya untuk jangan terlalu khawatir akan keseriusan kata-kata pacarnya itu, sebelum pamit kembali ke lokasi training.
"Mungkin dia sedang emosi. Jangan khawatir. Besok dia akan menelfon dan minta maaf."
Terlihat dia tidak nyaman dengan kata-kataku itu.
"Aku sudah melupakannya sebelum itu terjadi" jawabnya teduh.
 Aku memelihat dia bersedih. Aku ingin menghibur. Tapi bagaimana caranya?
"Cintamu utuh milikmu. Dia utuh di hatimu. Sampai kapanpun begitu. Engkau berhak menitipkannya ke hati siapa saja dan mengambilnya kembali kapan kau mau. Bukan begitu?" aku mengharapkan senyumannya.
"Sebelumnya memang begitu. Tapi setelah melihat wajahmu tadi saat engkau menyeberang jalan, cintaku telah kesitu. Dia menunjuki dadaku." kulihat dia berubah ceria sedikit.
Tapi ini mustahil. Mungkin dia merayu saja. Mana mungkin cinta semudah itu muncul, diberikan secara utuh dan tak dapat diambil kembali. Melihat aku kebingungan, dia berkata:
"Kau tau cinta itu datang pada pandangan pertama? Tahukah engkau bila dia tidak hadir pada kali itu, takkan pernah ada selamanya? Tegakah engkau pergi begitu saja setelah cinta di dalam hatiku yang utuh kini utuh di dalam hatimu. Bila kau jauh dariku sadarkah engkau seseorang yang cintanya utuh telah berada di dalam hatimu, kau biarkan begitu saja? Tegakah hatimu?" kta-kat ini membuat semakin bingung.
"Sekarang pulanglah. Aku dan secangkir susu menunggumu di sini besok jam empat sore." dia menangis lirih.
Kian detik-kian lirih. Ini mengusik dadaku, bahkan nyaris menyayat hati.
 "Hati yang di dalamnya ada cinta dia yang utuh." bunyi batinku.
Bercucur air mata, sambil terbata-bata dia berkata:
"Kembalilah besok sore."
Aku mengangguk, mencoba menenangkannya. Aku memberanikan diri mengusap rambunya yang panjang terurai lurus. Gerimis berubah hujan. Dia mencoba menyeka airmatnya dari pipinya. Aku memperhatikan wajahnya. Ternyata baru kusadari dia begitu cantik. Lampu taman dan beranda rumahnya memperlihatkan bahwa kulitnya kuning langsat.
Perlahan aku menjauh. Jari-jari tangannya mencoba meraih jari-jari tanganku. Akupun berlalu. Setelah beberapa langkang membelangkanginya, dia memanggilku.
"Hei, boleh kutahu namamu..." aku berbalik dan tersenyum.
"Baiklah, besok sore saja" sambungnya sambil mencoba tersenyum dan melambaikan tangan.
Keesokan harinya agenda berubah. Kami harus kembali ke Mentra siang ini juga!
Dia menungguku sejak sore hingga keesokan paginya. Selama itu dia nyaris tidak bergerak, hanya sesekali mengusap pipinya yang terus mencucurkan air mata dan sesekali pula dengan belakang telapak tanngannya mengusap ujung batang hidungnya yang mancung. Matanya selalu menatap kosong dan jarang sekali berkedip.
Menjelang pagi dia terkulai di atas salah satu kursi mungil bewarna ungu bermotif putih dan susu di dalam gelas sudah menunjukkan aroma tak sedap masih tergeletak di atas meja imut bewarna yang sama.
»»  READMORE...

Tak Ada Istiqlal, Kathedral-pun Jadi

Sep sigee ka jeut keu ubat. Tajak seumayang u meuseujid Istiqlal leubeh jraa teuh daripada takeureuja bak Jeupang.


Si Yanis baroo dua uroe trok u Jakarta. Jih dijak keunoe kareuna ban woo Edvan Trening PII di Palembang. Alasan jih meunyo mita peng eungkoh woe u Aceh di Palembang cukop that sulet. KB PII Aceh tan di sinan. Ohlheuh nyan, meunyoe di Jakarta seulaen KB PII nyang dari Aceh ramee, di sinoe pih na kantoe Perwakilan Aceh. Biasa jih di kantoe nyan kayeem jibi tiket moto PMTOH untuk woe u Aceh.Nyang that meugura nyan keuh watee meuneuk jak u meuseujid Istiqlal. Nyoe dari jioh leumah sang-sang meuseujidnyan toe that. Ban kamoe beurangkat dari Monas rupajih leupah that jioh.

Seopot nyan ujeun. Si Yanis ngen awak nyoe jibeulanja bajee-bajee kaoh nyang na gamba Monas ngen tulisan "Jakarta". Lheuh beulanja kamoe piyoh bak teumpat meukat bakso. Si Yanis peusan bakso, long peusan es campur. Watee si Yanis pajoh eh campur, jiteumee ulat saboh manteng udeep. Si Yanis langsong ji piyoh pajoh, karap meutah. Si Nawar naha jipikee sapuu, ji takat lajuu.Watee tameng u lapangan Monas, peumandangan jih cukop ceudah. Awak nyoe ka lale poto-poto. Han ji thee langet maken seupot. Awan itam meugulong-gulong. Langet bih bacut-bacut jipeuten ie. Kamoe ka bulut.

Plung mita teumpat, boh panee na teupat meusom dari ujeun hinan. Bak kayee lah pelarian terakhir.Monas adalah tujian kami. "Senja terakhir di Monas" kupeugah lee long. Awak nyan sengeh cet uroe ka jiwoe u Aceh. Jadi, ken, supot nyoe seupot seuneulheuh awaknyan i Jakarta. "Apdet status" ipeuduk lee si Yanis. oh lheuh nyan i lhuk nyang keh. Icok hape. Paih ikeu Istiqlal dari jioh deuh kamoe eu geureja raya that-that, Kathedral. Geureja nyan meurithat awak Kriseuten han item theu taloe. Kukheu i loong "Nyoe meunyoe han iteumee troh u Iqtiqlal, keunan u Kathedral ji tapeu keu" kukheun i loong. "Hahaha" kamoe khem mandum: teungeh bulut, teungeh heek. "Tak ada Istiqlal, Kathedralpu jadi" kutamah i loong. "Apdet status" i peuduk lom lee si Yanis. Ka i kleek-kleek hape lom.

Leupah tahat jioh kamoe mita pageu teubit dari Monaih, pageu nyang toe ngen Istiqlal. Si Yanis nyan. Aleh puu beda seumayang i Monaih ngen bak teumpat laen. Man, homlah: nan manteng golom i tameng, jih trok dari jioh pulak: hana puu lah.Oh watee meurumpek pageu teubit, kamoe koh jalan. Di miyup ren keureuta apui lon tanyeng bak awak meukat hinan, pat pageu tameng yang paleng too lam meuseujid. Iyuu jak ju blah uneun "...setelah itu belok kiri" i kheun.Rap siteugeh matee meujak, meu saboh pageu tan na teuhah. Rap na siploh boh pageu i top mandum. Lang maa ih. Lageee ek. Pu i peuget maaa ih. Rap meugrep pih pageu i gunci. Puu han ibi seumayang ureung, puu. (Nyang jaga) meuseujid pungoo bui.Oh rap na sikoloe meuputa-puta akhee jih meurumpek saboh pageu nyang teuhah, bacut that teuhah, pah-pan ubee let badan sagai. Sang meunoe Ajadin han let. Iboh bosoe lom di miyup jih: nyas pasti nak bek i peutameng honda ngen itangeen. Ujeun maken brat. Kamoe meuplung u saboh traih. I peugah lee ureu hinan: teumpat tung ie semayang jioh lom keudeh u likot. Pluung lom lam ujeu. Lam maa ih awak peuget meuseujid, latee kee.

Ban trok bak teumpat tung ie seumayang: suut ipatu. Bak teungeh duk sut ipatu, deuh kudingee su. "Haram. Haram. Haram." Ban ku eu ka awak Arab. Tapi bajee jih lagee kaphee sit. "Hm, awak Arab" latee kee "Nyoe meulikot gop i reupah awak meukat plaseutip nyan". Na awak meukat plaseutip, ineeng meupadup droe. Plasetip teumpat posoe silop. Ineeng mandum.Ban meutameng u dalam meurumpek tulisan: Tempat Penitipan Alas kaki Gratis." "Nyan. Pree bang, i kheu lee si Yanis." Kamoe pih peutoe ju keunan: peuduk ipatu. Pree! Oh lheuh nyan jaak lom. Doo jioh: Bak teumpat tung ie semayang. "Lam maaa ih" latee kee. Ban meu eu ie kaa saket iik. Jaak lom u ujong tempat tung ie seumayang. Doo jioh teumpat toh iek nyan. U ujoong teumpat tung ie seumayang. Doo jioh: Bit-bit hek teu tajak semayang keunoe: Lagee takeureuja bak kaphe!Ubee naa kukalen, teupat toh iek model deeng mandum. Hana beda laga cara toh iek awak kaphe. Asee manteng pih na itinggong meubacut watee toh iek.Kupileh kran nyang agak unik bacut. "Meunyoe kran jih sama lagee ata i menteng rugoe that jak keunoe" ku kheun bak si Yanis. "Lheu tajak keu noe hek lagee takeureuja bak kaphe, hana nyang meu laen: rugoe lah!"I sampeng kran na manyang siteungeh metee. Panyang jing simete. Lebar meu 30cm. Atra nyan na bak tiep-tiep saboh leung antara tiang meunara. Na ureung semayang meupadup droe bak meupadup boh atra nyan. "Bak wese pih seumayang" babah kee tajam that memang.

Teubit dari teupat tung ie seumayang meuheut wet wie. Tapi langsong i ceugat lee satpam. "Shalat di atas mas, ya." "Ooo, i wateuh. Kupike di miyup satnyoe" latee kee. Nyoe koen ka meuri that kamoe ken awak Jakarta. Leet maa ih. Rheet bacut gengsi kamoe. Untong hana cewek watee nyan hinan. Meudeh ka gadeh keren, gadeh ganteng.Bit-bit meutamah beutoy: seumayang bak Isqiqlal sangat merepotkan, lagee takeureuja bak kaphe. Bit keu apa bunoe geutem seumayang bak bineh teumpat tung ie seumayang. Ban troh u teumpat seumayang, na sidroe awak atoe-atoe bareh semayang. But jih peureuseh lagee awak jaga parkir. Ureung nyang meubareh semayang pih lagee motoe meuparkir bak Carrefour i Medan: rapi that. Oh lheu ku teukeubii, kukalen u ateuh awak semayang i bareh i keu. Rupajih ramee that aneuk MTs Istiqlal. Sikula nyan bak lantai dasar Istiqlal. Adak meu hana awak nyan, kurasa ureung agam nyang seumayang rap hantrok saboh bareh puntong pih. "Leet maaa keu (awak kelola meuseujid) paleeh. Puu sit nyang kapeujra ureung, kagunci mandum pageu, puuu sit. Meu ureung seumayang lagoo tan. Ook maaa keuh." 

Lheu seuleusoe seumayang maken beutoy nyang kukira bunoe watee teungeh seumayang: Nyan awak seumayang pih rap mandum awak jamee: wisatawan nyang meu neuk eu meuseujid terbesar di Asia Tenggara. Cuma kareuna nyoe meuseujid dan kebeutulan nyang jak wisata pih awak Ieseulam, ya, jiseumayang lah. Bek hana mangat sagai ngen alam.

Ji teungku imum pih pungoe. Meuteueh nyoe Masjidil Haram bak geubaca ayat meuseulihat that. Oh lheuhnyan panyang tuloe. "Eee teungku imum cireet! Puu neupeuget but. Ureung seumayang dua kreek pih peu hayeu-hayeu droe." latee kee teungeh seumayang.

Lheung semayang kamoe seumayang sunat. Awak si Yanis poto-poto. Rap mandum jamaah poto-poto. "Ken nyoe chek kee bunoe, rap mandum wisatawan. Jamaah nyang beutoy-beutoy meuheut jak seumayang, nyoe na meu dua droe" latee ke.

Lheu nyan kamoe teubit. Woe ngen bemo. Bayeu tujoh ribee. I peugah phon limeng blah. Kaa troh lom u Mentra 58. Ban malah kubuka fesbuk. Teukaleen status si Yanis: "Senja terakhir di Jakarta; tak ada Istiqlal, Kathedralpun jadi." 

Mentra 58, 07 Januari 2011
»»  READMORE...

Seribu Pancaran Sinar Mentari

Kawan, seharusnya tidak sekarang aku menceritakannya padamu. Ceritaku layaknya kusampaikan saat aku telah berada di Teheran atau Muenchen, saat aku menjadi salah seorang Profesor di sana. Tapi bagaimana kalau cinta lama merangkulku lalu membawaku pergi? Konon, kudengar dia telah berubah menjadi monster mirip Orge dalam game "Tekken".

Ceritaku bermula saat keranjang hijau telah kosong dan hanya menyisakan beberapa plastik keresek dan seikat lidi bambu. Setelah kukayuh sepedaku menjauhi Sambu, tempat di mana sore itu bungkus terakhir mie Aceh yang kujual seribu rupiah perbungkus disapa perut yang sedang lapar, aku telah membelakangi billboard besar tempat di mana iklan rokok "Kennedy" bertengger. Iklan itu telah senyum manis di persimpangan jalan dekat Medan Mall sejak enam tahun lalu saat usiaku masih sebelas tahun. Tiba-tiba aku berhenti dan menoleh ke arah spanduk besar itu. Bulu kudukku berdiri. Terdengan bisikan "Miswari, kamu akan kuliah."

Kuliah? Saat itu kuliah adalah mustahil bagiku. Aku nyaman dengan realitas yang sedang kujalani. Kuliah adalah hal mustahil. Setiap pulang sekolah aku bergegas ke sebuah rumah milik orang Tangse yang telah lama tinggal di Medan. Salahsatu kamarnya disewakan padaku. Seratus ribu rupian per-bulan. Sesampai di rumah aku langsung mandi, shalat dzuhur dan berlari ke rumah Mak Boi. Di sana Mak Boi memberikanku makan siang dan malam, dua kali sehari, hanya dengan membayar seratus ribu rupiah per-bulan. Harga itu memang tidak pantas. Tapi aku tahu dia mau membantuku. 
Selasai makan aku buru-buru ke rumah Kak Syah. Di rumah beralaskan tanah itu telah bersedia sebuah sepeda yang lusuh. Di sandelnya telah terisi penuh bungkusan-bungkusan mie. Aku meraih sepada itu. Setiap hendak mengayuh untuk pertama kali aku selalu membaca Al-Fatihah. Selalu. Tidak pernah tinggal sepanjang dua tahun kerjaku menjual mie Aceh seribu! Meski saat itu otakku belum mengantongi konsep tentang kekuatan sebuah surat terdiri tujuh ayat itu, aku yakin Al-Fatihh punya kekuatan melebihi langit dan bumi. Apalagi untuk menghabiskan dagangan sekeranjang mie, pikirku dulu.
Pekerjaan itu kulakukan sejak kelas dua hingga kelas tiga STM. Kelas satu aku masih tinggal di rumah salah seorang familiku. Pulang sekolah aku membantu mereka mengolah sirip hiu hingga menjadi salah satu dari bagian santapan lezat di restoran-restoran kelas atas.
Bisikan tadi itu membuatku tercengang dan kembali membuatku melihat kembali kondisiku. "Kuliah? Mustahil!" gumamku. Diam-diam hati kecilku menyumpan keinginan yang maha besar untuk kuliah. Tapi keinginan itu tidak boleh membuatku tidak rasional. Bisikan-bisikan seperti itu adalah bisikan tentang masa depanku yang tak bisa kubantah, apalagi kuhindari. Persis seperti bisikan saat aku di Masjid Muhammadiyah setelah lulus S1. Waktu itu bisikan itu mengatakan aku akan ke Jakarta.
Karena kutahu bisikan itu adalah sesuatu yang tak bisa kulawan. Aku memilih mempersiapkan segala sesuatu tentang bisikan itu.
Tiga bulan lagi Ujian Nasional. Aku sadar tidak seperti kawan-kawan yang bisa mempersiapkan ujian dengan mengikuti bimbingan belajar di lembaga-lembaga elit seperti Ganesha Operation Atau Primagama, makanya aku berfikir cara lain untuk mempersiapkan diriku.
Malam itu aku mengatakan pada Kak Syah bahwa aku hanya akan bekerja dua bulan lagi. Ini kuberitahukan agar dia bisa mempersipkan diri. Aku, akan mengumpulkan uang sebisa mungkin untuk sebulan menjelang UN karena saat itu aku akan berfokus pada belajar serta mengikutu les tambahan oleh pihak sekolah.
            Caraku agar lulus UN adalah dengan membeli sebuah buku tentang penduan mengikuti UJIAN NASIONAL 2004. Aku mengawali dengan mempelajari soal UN dari tahun paling rendah. Strateginya adalah dengan mengisi jawaban atas petanyaan-pertanyaan itu dalam selembar kertas lembar jawaban fotokopian dari contoh lembar jawaban yang dilampirkan pada halaman buku itu. Salahsatu manfaat cara seperti itu adalah belajar mengasah kebiasaan melingkarkan jawaban agar tidak lepas dari bacaan komputer saat pemeriksaan lembar jawaban sesungguhnya nanti.
Setelah mengisi lembar jawaban itu, aku memeriksanya dengan berpanduan pada lembaran kunci jawaban yang telah disediakan dalam buku. Aku mempersentasekan jawaban yang benar denga nilai yang kuperolah. Saat itu standar kelulusan 4.01 per mata pelajaran yang di UN-kan. Selanjutnya membaca sepintas lalu jawaban yang benar. Pada jawaban yang salah aku benar-benar mempelajarinya hingga aku paham betul. Demikian setiap mata pelajaran yang di UN-kan hingga sampai pada prediksi soal UN 2004.
Setiap mengerjakan mata pelajaran dari tahun terendah dalam buku hingga 2003, nilaiku terus naik. Pada prediksi mata pelajaran 2004 aku memperoleh: Matematika lima koma sekian; Bahasa Inggris enam koma sekian dan: Bahasa Indonesia enam koma sekian.
Seminggu sebelum UN berlangsung, aku telah bersiap menghadapi ujian. Waktu seminggu itu kumanfaatkan untuk menyegarkan ingatan tentang soal-soal itu.
Seminggu menjelang UN aku harus pindah dari kos. Dua dua hari aku terpaksa tidur di gudang perabotan milik orang Aceh. Sebelumnya aku telah akrab dengan pemilik dan pekerjanya karena mereka telah lama menjadi pelanggan mie Aceh jualanku.
Tiga hari menjelang ujian, Agam menerimaku tinggal di tempat usahanya. Syaratnya aku harus membantunya berjualan minyak, koran dan majalah. Aku senang. Itu lebih baik daripada menghadapi hari-hari penting dalam hidup tanpa tempat tinggal yang jelas.
            Hari pertama ujian aku menyelasaikan soal-soal ujian Bahasa Indonesia dengan mudah. Malam harinya, drama dimulai. 
Setelah mengulang sepintas lalu prediksi soal-soal Matematika UN 2004, aku beranjak tidur. Ayat-ayat pendek kubacakan penuh harapan dan kecamasan. Besok ujian Metematika dan dan Agama Islam. Jadi aku harus konsenterasi betul. Matematika begitu mendebarkan. Agama Islam? Ah, tak masuk dalam hitunganku. Tidak di UN-kan! Saat hendak memejamkan mata, begitu saja masuk sekelompok pemuda berpakaian preman menggeledah seisi ruangan tempat usaha Agam. Aku memang tidak pernah mengunci pintu sebab Agam menyuruhnya begitu. Dia datang bila-bila waktu ke toko. 
Pemuda-pemuda itu membuka payung yang tersangkut di dinding dan mencari sesuatu di dalam sepatu sekolahku dengan mengangkat kaus kaki di dalamnya. Mereka juga menggeledah tempat-tempat lain yang mereka suka. Saat itu aku belum curiga siapa mereka meski cara menggeladahnya mengesankan sekali.
            "Mana si Agam." Tanya seorang pria agak gemuk, gondrong dan muka seram.
"Keluar, Bang. Mungkin di rumahnya." jawabku kecut.
"Di rumah tak ada" sahut yang lainnya.
"Mana kau simpan barangnya" tanya si gondrong tadi.
Aku diam tak bisa menjawab apapun lagi. Di tengah-tengah kesibukan mereka menggeledah, di dalam otakku terlintas pikiran: Mungkin mereka adalah orang yang akan menyita barang-barang tertentu dalam toko Agam karena dia tidak mampu membayar utang.
Saat aku telah duduk dibarisan kedua sebuah minibus terlintas kesan dalam ingatanku: Bukankah kondisi seperti ini adalah orang yang sedang di gelandang Intel Polisi ke Tempat interogasi seperti yang sering kutonton dalam program "Patroli" di Indosiar. Kesan itu menghilang begitu saja.
Aku telah berada di sebuah ruangan dalam kantor Polisi. Karenaa dari pertama saat di naikkan ke dalam moli aku membaca rute tujuan. Aku sadar betul telah berada di Poltabes Medan. Bahkan aku sering melawatkan sore seputaran Markas ini berjualan Mie Aceh dengan sepeda butut itu.
Beberapa saat kemudian aku dibawa keruangan lain. Di sana Agam telah duduk manis. Dia menjawab lugu dan singkat pertanyaan-pertanyaan pemuda yang duduk di balik meja menghadap sebuah komputer di atas meja hitam di depan kami. Aku melihat asbak di depan penginterogasi telah sangat sesak oleh abu rokok dan puting "Sampoerna Mild".
Pikiranku terfokus pada kedua orang tuaku. Aku membayangkan bila aku dijebloskan ke dalam sel yang berada sekitar sepuluh meter di sebelah kananku, bagaimana aku bisa memberitahukan orang tuaku bahwa aku telah dipenjara. Dipenjara karena tidak ada satupun Undang-undang yang dibuat Tiran-tiran di "rumah mewah" itu kulanggar. Aku sangat khawatir orang tuaku akan khawatir karena kehilangan diriku, khawatir mereka takkan tau aku ke mana. Kasihan pada kedua manusia yang paling kucintai setelah Nabi Besar Saw. Mereka telah berharap anak-laki laki mereka akan segera menamatkan sekolahnya di rantau. Namun ternyata telah masuk penjara tanpa mereka tau. 
Satu momen paling penting yang membuyarkan lamunanku terjadi:
 Penginterogasi: Dia ikut, enggak?
Agam : Sama seka tidak, Bang.
Penginterogasi: Jadi cuma kau sendiri yang makai?
Agam : Bener, Bang
Penginterogasi: Jadi benar dia tidak terlibat?
Agam : Iya, Bang.
Penginterogasi: Betul, kau!?
Agam : Sama sekali tidak, Bang!
Penginterogasi: Hah? (Setengah berdiri mencondongkan muka ke arah Agam. Melotot tajam) 
Agam : Ya, Bang. Dia enggak.
            Detik itu pula langsung terfikir olehku: Kalau saja Agam ingin berbuat buruk padaku. Mudah saja dia melakukan ini:
Penginterogasi: Dia ikut, enggak?
Agam : Iya, Bang.
Penginterogasi: Jadi dia ikut juga?
Agam : Benar sekali, Bang.
Penginterogasi: Jadi benar dia terlibat juga?
Agam : Iya, Bang.
Penginterogasi: Betul, kau?
Agam : Benar, Bang! Sebenar setelah "Q", "R"
Penginterogasi: Hah? (Setengah berdiri mencondongkan muka ke arah Agam sambil tersenyum lebar. Melotot dengan memperlihatkan kedua bola mata dengan beningnya)
            Kenapa orang yang jauh lebih muda darinya tetap dipanggil "Bang" oleh Agam? Bukankah pengintrogasi yang sangat tampan, berkulit kuning langsat itu jauh lebih pantas menjadi foto model atau bintang iklan jus buah manis bersama gadis-gadis remaja yang cantik-cantik dan centil-centil daripada berprofesi sebagai orang yang kejam, tegas, dibenci semua orang yang pernah duduk di balik mejanya dan didoakan semoga ibunya mati dengan cara terpotong-potong badannya karena ditabrak kereta api dan istrinya dimutilasi setelah diperkosa ramai-ramai dan kemaluannya ditusuk-tusuk besi panas menyala oleh semua orang yang pernah merasakan panas monitor komputer di atas mejanya yang menerpa wajah mereka? 
            Aku tidak sempat memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat tidak perlu kucari jawabannya dalam kepalaku. Aku tak punya ruang dalam kepalaku untuk memikirkan jawaban-jawaban itu. Otakku penuh dengan kesenangan: Pria tampan anak Teuku Banta Sulaiman tidak perlu panik dan pusing mencari anaknya yang hilang di Medan dan perempuan paling cantik dan paling tajir di Peusangan era 80-an tak perlu gelisah menanti keberadaan dan keadaan anaknya yang paling bandel itu.

Selanjutnya aku dibawa kembali ke ruangan tadi. Aku kembali duduk lemas di atas sofa empuk bewarna hitam itu. Aku sangat mengantuk, sangat lemas. Lebih dari itu mentalku down betul. Sembari tertidur dan terjaga, di sela-sela keduanya, dalam tertidur dan ter bangun, pikiranku tertuju pada satu kata: MATEMATIKA. Sambil itu, hatiku bergumam penuh kekhusyu'-an: Ya Allah, Allah Rabbnya alam semesta, Junjungan Rasulku yang mulia, Sesembahan ibu dan ayahku serta tempat bergantung dan menyerahkan diri kakek-kakek dan buyut-buyutku sepanjang masa: Bila kau tak izinkan hambamu yang semasekali sedang tak bedaya di depan-manusia manusia ini, benar-benar hina di hadapan-Mu dan mereka, maka usahlah Kau kirimkan cinta padaku lagi sampai kapanpun. Aku mencintaimu dalam senang dan susahku, dalam mudah dan pedihku, dalam senyum dan tawa dan dalam murung dan muramku. Aku mencintaimu melebihi cinta seorang ibu rumahtangga akan rumah suaminya. Ya Allah, aku menyayangimu melebihi sayangnya seekor puddle akan bulu-bulu indah yang membuatnya hidup dan menjadi alat kebanggaannya: Maka perkenankan harapanku wahai Yang Maha Suci. Doa itu terus saja mengalir dalam hatiku, kadang tidak beraturan. 
            Lalu tiba-tiba masuk salah seorang polisi yang samar-samar terlihat di mataku. Dia menghampiriku dan bertanya. "Jadi kau anggota (a)Gam?" 
"Ya, Bang." jawabku lemas, sangat lemasnya aku hingga suaranyapun samar-samar terdengar olehku.
            DUUUUP DUUUUUP DUUUP
            Tiga tendangan PDL di kakinya yang dibuat dari uang petani pinang yang hasil kebunnya itu dihargai seribu limaratus rupiah namun dijual tigapuluh dua ribu rupiah untuk setiap satu kilogram.
Tendangan itu membuatku tersungkur ke lantai. Aku tak bisa bernafas. Kupikir malaikat segera datang dengan sebuah karung beras 50kg dan pulang dengan karung yang telah berisi nyawaku di dalamnya. Aku benar-benar sangat kesakitan. Sampai saat ini, kesakitan yang paling payah yang kurasakan adalah malam selasa itu. 
Aku hanya mengingat Allah, kekasih yang setahuku saat itu adalah yang paling mencintaiku. "KataMu yang paling mencintaiku adalah Kau. Tegakah kau melihat yang Kau cintai ini tersiksa sangat parah seperti yang sedang kurasakan saat ini? Apa yang akan Kau lakukan padaku?" pikirku dalam benakku.
 "Matematika"
"Sepatu" 
"Matematika"
"Sepatu" 
"Matematika"
"Sepatu" 
"Allah"
"Ayah-ibuku"
            Kata-kata itu datang secara berurutan dan berulang-ulang kedalam kesadaran pkiranku. Kukira kalau aku mati saat itu, maka Matematika, sepatu, Allah dan ayah-ibuku adalah hal-hal yang paling mengsankanku sepanjang hidup di surga.
Samar-samar aku mendengar polisi-polisi lain menegur si penendangku itu.
"Kok, kau hajar pulak dia?"
"Separatis, katanya dia"
"Bukan, Coy. Anak buahnya si Agam itu"
"Ooo"
            Aku baru tau, maksud pertanyaannya. Mungkin, adalah untuk sekedar bercanda dengan menanyakan apakah aku anggota atau terlibat dengan gerakan pemberontakan di Aceh saat itu, GAM. Pertanyaan semacam ini sering ditanyakan pada orang Aceh untuk sekedar bercanda atau menggoda.
            Aku menjawab "ya" karena kukira maksudnya adalah bertanya apakah aku orang yang bekerja pada Agam, pemuda yang sedang diinterogasi di ruang lain. Di Medan, biasanya, orang-orang yang "bekerja pada" disebut "anggotanya". 
Melihatku terkapar tidak berdaya sama-sekali si penendang itu hanya memandangi tubuhku yang sedang memiting-miting persis seekor cacing yang sedang dijemur di atas piring melamin di bawah sinar matahari yang sangat terik. Hanya sedikit air muka mengiba sudah cukup bagiku seorang polisi meminta maaf atas sebuah kekeliruan yang hampir saja membuat nyawaku melayang. Untuk berkata "Maaf" atau "Sori Coy" dia enggan. Dia sadar seragamnya lebih berharga dari kata-kata konyol itu. Akupun sadar akan betapa berharganya seorang personil Polisi. Setidaknya berdasarkan pengetahuanku bahwa meski mereka adalah penegak hukum, bila ada seorang anggota mereka mati ditangan seorang warga, maka si pembunuh personil Polisi itu akan mati tanpa perlu menempuh jalur hukum formal manapun. Sebuah penegakan hukum yang begitu tegak dari Penegak Hukum.
            Beberapa anggota polisi yang sedang barada di hadapanku mulai membicarakan tentangku, lebih tepatnya tentang nasibku. Mereka telah mengetahui bahwa aku pelajar. Mereka juga tau aku sedang UN. Kupastika mereka tau aku harus ujian Matematika. 
            Jam enam pagi aku dibolehkan pulang.
"Tau nya kau jalan pulang?" tanya salah seorang personil Polisi. 
"Tau, Bang" Spontan.
            Aku girang meski mata mengantuk sangat, otot-otot lelah betul dan badan remuk-radam. 
Aku pulang jalan kaki dari Poltabes ke Tuasan, Pasar Tiga. Sempat terfikir olehku kalau saja tadi kujawab aku tidak tau jalan pulang, mungkin mereka akan mengantarku pulang denga mobil. Tapi aku ragu kalau kujawab begitu, aku tak jadi dikasih pulang pula. Teringat akan sel tahanan. Aku tidak jadi menyesali jawabanku tadi. Dalam perjalanan tak henti-hentinya aku mengucap syukur. 
            Jangan tanya bagaimana: Lima belas menit aku tiba di Tuasan. Sebelum sampai di toko saudara-saudara si Agam melempariku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi Agam di Poltabes. Mereka bertanya dengan sangat serius. Kupastikan beberapa di antara mereka sama denganku tidak tidur semalaman. Karena gelisah tentang kondisi Agam.
Shalat subuh antara sadar dan tidak. Melihat tempat tidur ngantukku semakin menjadi-jadi. Aku menghempaskan badan ke tilam. Berfikir kalau saja momen sembilan jam dari sekarang tidak pernah terjadi. Sembilan jam yang lalu aku masih berada disini, di atas tilam ini hendak tidur.
"Matematika!" Terlintas dalam pikiranku akan kata itu.Tiba-tiba aku teringat kalau saja aku memejamkan mata, aku takkan ke sekolah. Hari ini ujian mata pelajaran yang sangat menentukan hidupku. Aku bergegas mandi. Lalu segera berangkat ke sekolah meski terlalu pagi. Ini lebih baik bila tetap dekat dengan tempat tidur. 
Aku sempat tertidur ayam dua tiga kali di dalam angkutan umum. Setiba di sekolah orang-orang sudah ramai. Ditangan mereka semua sedang memegang apasaja yang dapat membantu mereka menjawab soal-soal Matematika yang akan diujikan sesaat lagi. Aku masih sibuk dengan perutku yang sangat sakit akibat ditendang polisi tadi malam. Pengalamanku tadi malam begitu mengesankan. Seolah-olah hanya mimpi belaka. Hanya rasa sakit di perut dan serangan kantuk yang membabi-buta yang dapat membuatku sadar bahwa peristiwa tadi malam bukan mimpi. 
Kalau hal ini kuceritakan pada teman-temanku, pasti tak ada yang percaya, bukan karena mereka terlalu sibuk dengan beban Matematika, namun karena apa yang kualami tadimalam sangat luar biasa.
Bel dibunyikan. Pengumuman-pengumuman yang di suarakan melalui pengeras suara tidak ada satupun kudengar dan kupahami. Aku ikut berbaris di antara yang berbaris di lapangan upacara untuk mendengar arahan kepala sekolah setiap pagi selama UN. Aku tak mendengar sepatah katapun. Aku sibuk dengan perutku dan terlalu besar kantuk menyelimutiku.
            Masuk keruangan aku mencoba membuang kantuk. Gagal. Aku tersungkur, tertidur di depan lembaran soal dan jawaban Matematika. Aku mecoba sadar dari tidur. Tertidur sejenak saat ujian berlangsung aku bermimpi sedang mengerjakan soal-soal Matematika. Lalu dalam mimpi itu aku jatuh ke bawah meja akibat kursiku patah. Aku tersentak dan terbangun. Saat sadar ternyata benar aku terjatuh ke bawah meja. Ternyata saat mengantuk tadi aku kehilangan keseimbangan dan punggungku merosot dari kursi dan aku terjatuh kedepan kursi, ke bawah meja. Pengawas mengamati. Peserta ujian lain ingin tertawa tapi tidak berani. Masa depan mereka lebih penting daripada menertawakan sesuatu yang sangat layak untuk ditertawakan. Kalaupun mereka tertawa sangat wajar. Namun cita-cita yang tinggi membuat mereka harus mengenyampingkan kewajaran-kewajara.
Aku masih berjuang melawan kantuk. Bahkan sakit perut telah menyerah dari rasa kantuk yang sangat besar. Aku terus berjuang. 
            Pertanyaan pertama coba kubaca. Gagal. Aku kehilangan fokus. Mengantuk ini sangat dalam dan tinggi besar. Aku tidak tidur semalaman. Jadi aku mengantuk. Itu wajar. Namun karena bisikan yang telah kusampaikan padamu itu, kawan, membuatku yakin bahwa cita-citaku besar. Karena cita-citaku besar, maka aku harus melampaui batas-batas kewajaran.
Waktu tersisa tinggal empat puluh menit lagi. Sementara lembar jawabanku belum terlingkar satupun. Cita-cita besar itu membuatku kuat melawan kantuk dan lelah. Mataku melototi soal-soal ujian sementara aku terus mencoba memfokuskan pikiran. Fokus. Aku membaca satu soal lalu menghitung dan membuat rumus untuk mencari jawaban yang tepat. Demikian terus menerus hingga pertanyaan terakhir. 
Dua puluh pertanyaan berhasil kujawab dalam waktu empat puluh menit. Aku bekerja keras.Bekerja keras melawan batas-batas kewajaran demi masadepan yang lebih baik. Dan saat inilah penentuannya. 
Aku masih ragu, Matematika adalah pelajaran yang amat sulit dan mengerjakannya dalam kondisi sangat sulit. Aku sangat takut tidak lulus Matematika. Bila nilaiku empat koma nol atau lebih rendah darinya, aku takkan lulus. Tidak lulus adalah aib terbesar bagiku. 
            Sejak hari selesai ujian Mtematika, aku tidak penah berhenti berdoa pada Allah. Aku tak pernah meninggalkan shalat tahajjut.
            Tiba hari pengambilan surat pemberitahuan hasil UN, aku berpakaian sangat rapi. Doa dengan sangat tawadhu' dan khusyu' tak henti-hentinya kupanjatkan. Tiba di pekarangan sekolah aku menggigil. Aku paling khawatir dengan nilai Metematikaku. 
            Di depan sebuah kelas, Bapak Kepala Sekolah telah duduk manis menantikan kami. Aku dan kawan-kawan menghampiri. Pria gemuk berkulit sawo matang itu tersenyum pada kami. Aku tersenyum pula seperti bentuk bibir seseorang yang sedang dalam keadaan sangat payah di wc.
Tubuhku bergetar saat meraih sebuah amplop putih yang disodorkan Bapak Kepala Sekolah. Bapak Kepala Sekolah menyadari kondisiku, mengetahui apa yang sedang berkecambuk di dalam tempurung kepalaku. Dia tersenyum saja.
Saat telah memegang amplop putih itu di dalam pikiranku terlintas seribu refer:
"mie Aceh",
"Ibuku",
"sirip ikau hiu",
"Mahathir", "Kakak",
"Lidia",
"Sambu",
"Lapak Judi Jalan Tuasan",
"Sepatu",
"Majalah",
"bensin",
"koran"
            .Kondisiku berubah menjadi takut:
"Poltabes",
"Agam",
"Payung",
"kaus kaki yang di angkat dan melihat isi sepatu",
"sel tahanan di Poltabes",
"Pria yang paling tampan di seluruh dunia yang pernal kulihat sedang binging, panik dan khawatir mencariku di kota Medan".
            Yang paling membuat hatiku tak menentu ketika itu adalah saat wajah ayah sedang menjengukku di Pesantren dulu. Kukika lebih baik aku tidak pernah ada di muka bumi ini bila tidak lulus karena mengenang wajah ayahku. Ayah yang paling mencintai anaknya adalah ayahku. Ayah adalah seorang pria hidup pas-pasan namun menyekolahkan anaknya yang nakal ini ke Boarding School yang dihuni anak-anak pengusaha, pejabat kelas atas dan kontraktor. Aku tidak sanggup bila mengingat wajah ayah. Aku lebih baik tidak pernah ada di dunia ini bila tidak lulus.
            "Baca Bismillah..." Suaraku itu membuatku terkejut. Rupanya Ibu Guru Agama Islam-ku yang menegurku saat aku sedang mencoba menyobek amplop.
            "Tahukah Ibu Guru, bahwa telah tiga kali Al-Fatihah dan berpuluh-puluh surat pendek telah kubaca dalam hati sejak menerima amplop ini. Bismillah... pulak?" Tentu saja jawaban ini hanya kubunyukan dalam hati.
Aku membaca basmala dengan agak sedikit berbunyi untuk menghormati Ibu Guru yang manis berumur tiga lima namun belum kawin itu. Aku masih belum beranjak jauh dari meja Bapak Kepala Sekolah.
Kutemukan selembar kertas bewarna pulit dengan isi tulisan di bagian dalam lipatan seluruhnya. Seingatku itulah surat formal pertama yang kuterima seumur hidupku. Kubuka lipatan itu. Kubaca itu tertuju padaku: MISWARI. Kucari langsung inti daripada Isi surat. Kutemukan: "TIDAK LULUS" tercoret dan"LULUS" tak di coret. Artinya aku lulus UN!
            Kulihat nilai ketiga mata pelajaran yang di UN-kan itu: Bahasa Indonesia: 7.69; Bahasa Inggris: 6.89 dan; Metematika: 4.02. Subhanallah! Langsung terfikir olehku kalau satu lagi saja saja soalan Matematika itu terjawab salah, dapat kupastikan nilaiku di bawan empat. Dan, itu artinya aku tidak lulus UN! Tidak tidur semalaman dan terkena sepatu Polisi ditambah mendal yang jatuh terpuruk malam menjelang ujian Matematika membuatku yakin 4.02 untuk nilai Matematika adalah karamah dari Allah SWT.
            Meski cinta ayah tingginya tak terlampaui langit tidak ada apa-apanya dengan berhasil lulus STM, perjuangan mengolah sirip hiu dan bersepeda mengelilingi Kota Medan setiap hari pulang sekolah terjawab sudah. Poltabes dan sepatu PDL Polisi-pun lunas.
            Aku tersungkur melekatkan keningku ke tanah dekat teras ruang belajar. Mataku mengeluarkan airnya sebanyak-banyaknya. Aku tak peduli Bapak Kepala Sekolah, Tak peduli Ibu Guru Agama Islam. Aku tak peduli semua orang yang ada di sini. Aku tenggelam dalam haru. Ibu Guru Agama Islam ikut menitikkan air mata. Kutahu dia tau sedikit banyak perjuanganku di Medan. Bapak Kepala sekolah yang hampir setiap hari berada di belakang kami: artinya setiap hari kalah berlari dengan kami karena hampir setiap hari kami berhasul lolos dari kejarannya karena suka cabut sekolah; kami yang membuatnya malu sejadi-jadinya di hadapan kepala sekolah lain karena tingkah kami yang kurang ajarnya di atas rata-rata kurang ajar seluruh siswa se-Kota Medan, namun hari ini, kulihat mimik wajahnya, haru melihatku. Kubaca air mukanya. Kutemukan Kalimat-kalimat: Akan kukatakan pada dunia aku pernah punya siswa superhero sepertimu, Nak; Akan kuceritakan kebanggaanku bahwa aku punya siswa yang setiap harinya berjualan mie berkeliling dengan sepededa lusuh namun dia lulus UN.
            Kawan, saat itu UN adalah moster yang sangat berbahaya. Kalau tidak salah 70persen siswa seangkatanku tidak lulus. Bahkan, waktu itu, Kawan, ribuan peserta bimbingan belajar pada lembaga-lembaga bimbingan belajar ternama di Medan terpaksa kecewa. SMS semua jawaban yang benar dari guru untuk menghindari malu karena takut dianggap gagal mendidik siswa dan kerena mengharap uang receh dari kepala sekolah yang takut dipindah tugas, belum ada waktu itu.
Kepedihan yang datang bertubi-tubi dan hidup mulai terasa gelap gulita diganti seribu pancaran sinar mentari, a thausands splendid suns. 
            Bapak Kepala Sekolah menghampiri dan merangkulku. Kulihat matanya semakin memerah. Dekapannya membuatku teringat pada ayahku. Masih menitikkan air matanya, dari belakang datang Ibu Guru Agama Islam mengelus-elus pundakku. Air dari mataku belum mau berhenti mengalir. Perih perutku akibat PDL Polisi masih terasa menusuk-nusuk. 
Langit sangat cerah, seribu pancaran sinar mentari mulai menyengat. Semua pasang mata tertuju pada kami.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

»»  READMORE...

Kamis, 15 September 2011

My 25th Birthday

Saat umurku memasuki 18 ketika itulah aku mulai gemar membaca. Berbarengan dengan itu aku juga mulai keranjingan menulis. Aku menulis pada buku tulis biasa saja. Aku menulis apa saja; apa saja yang terfikirkan olehku, apa saja yang terlintas di dalam pikiran dan apa saja yang teringat setelah membaca buku.

Setelah mengikuti Advance Training PII, kami mengikuti Ta'lim 'Ali seminggu sekali. Poin-poin penting dari kajian kami pada ta'lim itu aku catat pada sebuah buku. Lalu aku memberanikan diri untuk sering memakai komputer PW PII. Aku mengembangkan poin-poin ta'lim tadi menjadi tulisan-tulisan yang panjang. Beberapa dari tulisan itu kukumpulkan bersama tulisan-tulisan lainnya di komputer lalu kususun menjadi sebuah buku.

Buku itu kuberi judul 'Islam Bukan Teroris'. Semua tulisan itu kuselesaikan selama setahun. Kalau tidak salah terhitung dari setelah Mai 2OO5 hingga kuberi kata pengantar tepat malam ulang tahunku ke-2O dan kuterbitkan keesokan harinya.

Buku itu hanya kusebarkan pada kalangan kader-kader PII se Aceh saja. Belakangan setelah menetap di Jakarta timbul keinginan untuk menerbitkan kembali edisi keduanya.

Maka kukoreksi kembali ejaan-ejaan yang salah pada edisi pertama. Keinginan untuk dipublikasi kembali bertepatan ulang tahuku ke 25 semoga berjalan lancar meski dengan modal finansial yang sangat terbatas.

Rencananya edisi kedua buku pertamaku itu ingin kuluncurkan bersama dua buku lainnya yaitu 'Taman Para Pecinta' dan 'Garudaku Tangguh'.  Kedua buku itu kutulis selama setahun. Rencananya dua buku terakhir itu ingin kuterbutkan dalam satu buku saja, namun kukira itu mustahil karena buku GT memerlukan banyak referensi meski aku hanya dapat mencamtumkannya secara tidak terlalu mendetail. Sementara buku TPP adalah kumpulan puisi, ide-ide dan gagasan pendek sehingga dianya sama-sekali tidak perlu dumasukkan bersama buku-buku yang ada pada rak buku ilmiah Anda. 

Aku bersyukur pada Allah karena dengan umurku yang seperempat abd ini telah menyelesaikan tiga buku.

Sebensrnya aku ingin memasukkan beberapa karya tulis lain bersama GT, namun kukira perlulah catatan-catatan tentang diri kuteruskan pengumpulannya sehingga kemudian harilah kuterbitkan dengan judul 'Wangi Kehidupan'.

Sementara itu dua artikel tentang tokoh Aceh Hamzah Fansury dan Hasan Tiro dan Daud Beureueh rencananya kuurungkan saja untuk dikumpulkan bersama GT dan dikemudian hari aku punya rencana menerbitkan artikel-artikel tentang para tokoh, profil, pemikiran, gagasan dan apapun tentang Aceh yang memiliki makna filosofis yang akan kuberi judul ''Filsafat Aceh''.

Pasca September 2OO6 hingga September 2O1O, selama empat tahun itu, sangat jarang aku menulis gagasan atau tulisan tentang apapun dengan komputer. Selama kurun empat tahun itu aku lebih sering menuliskan gagasan atau apapun dalam buku-buku tulis. Hampir lima puluh buku tulis telah penuh kuisi dengan catatan-catatanku, tanggal dan tempat menulis tidak lupa kucantumkan setiap akhir tulisan.

Rencananya semua tulisan dalam komputer selama empat tahun itu akan kukumpulkan dan semua tulisan dalam buku tulis itu kusalin ke dalam komputer semua dan kuterbitkan dalam bentuk sebuah novel intelektual berjudul ''Sir Teuku Banta Ahmad''.

Sebagai catatan, selama rentan empat tahun itu aku rutin berjualan kopiah buat shalat hingga berjualan pakaian dalam pria dengan cara berkeliling dengan berjalan kaki di pasar-pasar dari Banda Aceh hingga Medan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membantu biaya kuliahku.

Berjuakan dengan berkeliling ini bukanlah pertama kulakukan. Semasa sekolah STM di Medan, aku juga sudah berjualan Mie Aceh yang dibungkus kecil seharga seribu rupuah. Bungkusan-bungkusan mie itu kubawa keliling dengan sepeda ke setiap  sudut pasar dan gang-gang.

Saat kuliah di Pascasarjana IAIN Banda Aceh, aku juga masih berjualan pakaian dalam keliling Banda Aceh hingga ke Kuala Simpang. Motor Honda 800 ku seperti unta, selalu setia mengantarkanku. Dengan kondisi motor yang lusuh dan barang dagangan yang berantakan, aku pede aja masuk kampus Pascasarjana IAIN. Hingga kini telah kulian Program Pascasarjana  Filsafat Islam di Jakarta, aku masih suka berjualan pakaian dalam pria setiap mudik ke Aceh. Aku suka berdagang keliling lebih dari sekedar alasan memenuhi kebutuhan hidup. Aku bahkan berencana untuk berdagang dengan cara yang sama di Jakarta untuk mendisiplinkan diri dan mengisi waktu luang sebab di Jakarta kuliah hanya dua kali seminggu.

Semoga Allah selalu merahmati aktivitas kita dan mengabulkan semua cita-cita baik kita. Amin.

Kampus Almuslim Peusangan, 13 Sep. 2O11    
»»  READMORE...